
Penulis: Fatrah Dwik Cantika-(Aktivis Muslimah)
Potret pendidikan karakter di negeri ini menjadi sorotan yang kian harus diselesaikan. Sebab betapa banyak kasus yang terjadi makin mengkhawatirkan. Kasus paling viral baru-baru ini, seorang kepala sekolah di Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang dilaporkan ke polisi karena menegur dan menampar siswa yang merokok di sekolah. Mirisnya, 630 siswa lainnya justru memilih mogok masuk sekolah sebagai bentuk protes kepada pihak sekolah.
Pun, juga berita yang cukup mengejutkan seorang mahasiswa Universitas Udayana yang diduga loncat dari gedung lantai 4, ia diduga mengalami perundungan dari teman-temannya. Bahkan setelah meninggal dunia ia masih dibully oleh sesama pelajar di kampus tersebut.
Gorontalo juga tidak luput dari buramnya potret pendidikan karakter hari ini. Bulan lalu, kita di kabarkan dengan berita meninggalnya seorang mahasiswa yang babak belur usai mengikuti Diksar Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) diluar kampus. Juga seorang anak SD di kota Gorontalo yang dibully karena mengalami disabilitas.
Data diatas baru secuil potret moral di dunia pendidikan diantara ratusan bahkan ribuan kasus lainnya. Para pelajar tumbuh dengan bebas berekspresi tanpa batas. Guru tidak lagi dihormati, malah dimaki, teman tidak lagi disayangi, malah dibully. Kondisi ini tidak ideal, sebab setinggi apapun ilmu yang kita punya, adab tetaplah harus dijunjung tinggi. Salah satu atsar Al-Qurthuby, Al-Jami’ II Ahkam al- Qur’an, 17/241, menyatakan: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, yang tidak menyayangi yang muda dan tidak mengetahui hak orang alim diantara kita.
Apa Akar Masalahnya?
Mari kita analisis bersama, jika kasus ini terjadi hanya pada satu dua orang, maka kita boleh mengatakan ini masalah moral pada personal saja. Tetapi fakta dan data lapang menunjukkan kasus perundungan meningkat tajam ditahun 2024 hingga saat ini. Menurut data KPAI dan JPPI yang dilansir oleh BPHN.GO.ID 30/10/2025, 31% kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi. 25,5 % perokok anak mengaku sudah merokok sejak SD (Survey IDEAS tahun 2025), dan banyak kasus siswa menantang dan membully guru.
Krisis pendidikan karakter terjadi secara sistemik, yang lahir dari paradigma yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekulerisme menghilangkan orientasi spritual dan moral dari dunia pendidikan. Dimana pelajar memiliki segudang prestasi, ilmu pengetahuan, tetapi kehilangan arah makna hidup. Belajar sebatas meraih nilai, validasi, dan materi. Namun, tidak terbentuk kepribadian mulia dalam diri anak didik.
Sekulerisme tidak hanya berpengaruh pada anak didik, bahkan guru juga tidak sedikit yang terbawa arus melakukan pelecehan, kekerasan, bergoyang-goyang didepan anak didik, dan juga korupsi di dunia pendidikan. Hal ini juga merupakan dampak yang memperkeruh problem pendidikan hari ini.
Problem moral saat ini adalah hasil dari bagaimana arah tujuan pendidikan. Sedangkan pendidikan di negeri ini mengadopsi kurikulum sekulerisme dari barat, yang menekankan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai spritual atau moral. Dalam buku The Lost Generation in a Secular World, kondisi demikian menghasilkan anak-anak tumbuh dengan otak cerdas, tapi hatinya kosong dari pemahaman spritual/ moral. Lebih daripada itu, tidak sedikit generasi yang terbawa arus tenggelam dalam gaya hidup bebas tanpa batas hingga kebablasan karena tanpa panduan agama dalam hidup.
Mewujudkan Pendidikan Karakter Cemerlang
Generasi adalah tonggak peradaban. Sedangkan agama adalah pondasinya. Ketika generasi berpaling dari agamanya maka yang terjadi adalah penyimpangan dan kehancuran moral.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha [20]:124.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dunia, tetapi juga belajar memahami bagaimana hidup berpondasikan iman dan dihiasi akhlak yang baik sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Dalam Islam, tujuan pendidikan yang utama adalah mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah), dimana anak didik memiliki pola pikir dan pola sikap yang didasarkan pada aqidah Islam.
Dalilnya dalam Surah al-Jumu’ah ayat 2:
“Dialah Allah yang mengutus Rasul (Muhammad SAW) ditengah-tengah kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka kitab (al-Qur’an) dan hikmah; sementara mereka sebelumnya ada dalam kesesatan yang nyata.”
Rasulullah juga memahamkan bahwa beliau diutus kepada umat manusia untuk membentuk akhlak mulia. Selain kita mempelajari ilmu pengetahuan dan ilmu agama, maka kita pun harus berakhlak yang baik kepada sesama manusia.
“Sesungguhnya orang yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. al-Bukhari)
Namun, berbanding terbalik dengan sistem sekulerisme hari ini yang memisahkan agama dari kehidupan. pada hakikatnya keduanya tidak boleh dipisahkan. Melainkan kehidupan sangat membutuhkan panduan Allah SWT dalam melakukan setiap perbuatan termasuk dalam berakhlak.
Sejarah gemilang pendidikan Islam tercatat dimasa kejayaannya dibawah kekhilafahan. Khususnya dimasa khilafah ‘Abbasiyah. Dimana saat itu negara menjadi pelopor pendidikan. Dimana pendidikan gratis dan berkualitas tinggi. Dibangunnya ribuan madrasah, perpustakaan dan pusat riset. Semua fasilitasnya terbuka untuk semua kalangan. Negara menggunakan satu kurikulum yang tidak pernah berubah, yakni kurikulum Aqidah Islam yang kokoh.
Bagaimana dengan kualitas generasi dimasa kejayaan Islam? Generasi tumbuh dengan iman, haus akan ilmu, dan dihiasi adab dalam kepribadian Islam. Perihal prestasi ilmu pengetahuan? Khalifah al-Ma’mun pernah mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad, tempat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia pada abad ke-9 M. dari sanalah lahir ilmuwan besar dibidang kimia, fisika, kedokteran, astronomi, matematika, dll. Mereka bukan sekedar ahli dibidang pengetahuan, namun memadukan spiritualitas Islam dengan kemajuan sains dan teknologi.. Dari sana juga lahir ahli fiqih, ushul fiqih, bahasa Arab, tafsir, hadis, dll. Semuanya tidak lepas dari peran negara yang berpegang teguh pada Syariat Islam secara keseluruhan.
Bagaimana dengan masa sekarang? Kita butuh peran negara. Negara Yang tidak hanya berfokus pada pembangunan dan kuantitas, tapi juga berfokus pada kualitas pembentukan kepribadian generasi yang gemilang. Negara wajib memastikan pendidikan berjalan sesuai dengan tujuan syar’i, yakni mencetak generasi beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Krisis Pendidikan karakter tidak bisa diselesaikan dengan pelatihan guru, penambahan pelajaran agama, atau revisi kurikulum. Namun, solusinya dapat kita genggam ketika negara kembali berpegamg teguh pada syariah Islam, baik dalam menerapkan sistem pendidikan, maupun sistem ekonomi, kesehatan, sosial, dll. Dengan begitu, kita dapat hidup dalam kesejahteraan dan keberkahan.
Wallahu’alam bisshowab.





















