Oleh : Nuzhatul Alfetwa
Perilaku menyimpang sebagai manifestasi dari naluri yang tidak didasari oleh keimanan, LGBT salah satunya. Sejak tahun 2013 terdapat dua organisasi jaringan nasional yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. Pertama, yakni Jaringan Gay, Waria, dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki Lain Indonesia (GWLINA) didirikan pada Februari 2007 dan kedua Forum LGBTIQ Indonesia yang didirikan pada tahun 2008. Jaringan ini bertujuan memajukan program hak-hak seksual yang lebih luas dan meluas agar mencakup jaringan organisasi-organisasi lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender. Jangan lupakan bahwa ditahun itu juga gerakan tersebut hampir mendapatkan legalitasnya saat Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menggelar rapat paripurna hingga aspirasi rakyat menjadi alasan untuk tidak memberikan legalitas kepada gerakan tersebut (republika.com)
Tidak tinggal diam, upaya-upaya yang dilakukan oleh para aktivis LGBT semakin nampak mulai dari petisi Surat untuk Presiden Widodo soal LGBT di tahun 2016, meminta melindungi konstitusi gerakan berdasarkan komitmen HAM internasional dan menuntut penerimaan masyarakat melalui kampanye-kampanye publik berkedok HAM seperti baru-baru ini pada rencana Pertemuan bertajuk ASEAN Queer Advocacy Week yang nantinya akan digelar di Indonesia namun pada akhirnya Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta agar pemerintah tidak memberikan izin terhadap agenda pertemuan gerekan tersebut sebab hal itu sama saja telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Sebagaimana pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka LGBT diklaim bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama, terutama enam agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Liberalisme Perisai Kaum Pelangi
Hak Asasi Manusia (HAM) yang digandrungi oleh para aktivis LGBT mentikberatkan setiap tindakan individu-individunya merupakan hak yang harusnya dilindungi oleh Undang-Undang sesuai dengan Indonesia sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat) menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan memeluk kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Bahkan Kelompok LGBT di bawah payung Hak Asasi Manusia meminta masyrakat dan Negara untuk mengakui keberadaan gerakan ini, bila kita melihat dari Konstitusi yakni dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan sebagai berikut : (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pelanggaran yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan pembebasan umum dalam suatu masyarakat. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut, dalam 22 ayat (3) Undang-Undang itu menyebutkan, ” Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, Pasal, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Begitu juga ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada tuntutan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan pembebasan umum dalam suatu masyarakat umum”. Dan Pasal 73 Undang-Undang HAM yang menyatakan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, pembebasan umum, dan kepentingan bangsa”.
Padahal Indonesia sebagai negara berdaulat dan memiliki hukum sendiri sudah jelas tertera di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . ” Bukankah keliru apabila menyalahi undang-undang dengan alibi undang-undang juga? Begitulah penampakan ketidaktegasan hukum di indonesia dilihat dari upaya pencegahan yang tidak menemui titik terang, sanksi yang tidak tegas dan tindakan hukum dan HAM yang cukup menggelitik.
Sudah berapakali Undang-Undang di amandemen, perilaku menyimpang justru smakin merajalela. Masyarakat harus mampu mengembangkan kewaspadaan sosialnya tidak hanya mengharapkan perlindungan negara yang bisa jadi tameng bagi para aktivis perlikau menyimpang ini. Sekiranya negara harus tegas dan keras mencegah dan memberantas praktik LGBT sesuai dengan ketentuan hukum yang diberlakukan, kepentingan umum dan nilai-nilai yang tercermin pada masyarakat Indonesia yang menjunjung religiusutas. Maka evaluasi kepemimpinan dan sistem kepemimpinan harusnya menjadi urgensitas tertinggi menuju revolusi Indonesia
Islam dan Kepemimpinannya
Menyoali gerakan LGBT yang sedang naik daun, Islam tidak hanya mengatasi penyimpangan perilaku dan seksual tetapi juga mencegah agar penyimpangan tidak terjadi dan mengalami perkembangan. Keimanan kepada Allah mengharuskan tiap-tiap individu muslim untuk terikat dengan hukum Allah. Didalam Islam terdapat istilah Khuntsa yang digunakan oleh para fuqaha untuk menyebut seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda, akan tetapi Khuntsa bukanlah perilaku menyimpang karena merupakan bagian dari qadha (ketetapan) Allah yang tidak bisa dipilih oleh manusia.
Berbeda dengan waria sebagai kaum pria yang menyerupai wanita baik dalam hal tutur kata, pakaian, hingga penampilan fisik yang disengaja (operasi plastik). Jelas bahwa qadha (ketetapan) Allah dan penyimpangan perilaku adalah dua hal yang berbeda. Rasulullah menegaskan dalam HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, an-nasa’i dan Ibn Majah daru Ibn Abbas, Nabi dengan tegas menyatakan “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai pria”. Bukan hanya waria, tetapi juga wanita yang menyerupai pria. Tidak hanya itu, Nabi juga dengan tegas memerintahkan agar membunuh pelaku (al-fa’il wa al-maf’ul) yakni selayaknya tindakan kaumnya nabi Luth (kaum sodom).
Didalam islam pencegahan yang tegas terhadap penyimpangan perilaku dan seksual merupakan hal yang wajib dilakukan. Dimulai dari interaksi sosial, keluarga bahkan negara yang bisa memicu penyimpangan tersebut. Secara individu, harus dididik dan dibiasakan sesuai dengan fitrahnya masing-masing baik dari penampilan fisik, tutut kata dan sebagainya. Adanya larangan untuk ank laki-laki tidur sekamar sengan anak perempuan, tempat tidur mereka harus dipisahkan. Tidak hanya laki-laki dan perempuan tegapi sesama laki-laki dan sesama perempuan. Pada tataran masyarakat pemikiran, perasaan dan sistem islam yang ditetapkan akan membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Demikian juga negara yang mempunyai andil dalam menerapkan, menjega dan mengemban pemikiran perasaan dan sistem islam tadi kepada tiap-tiap induvidu dan masyrakat.
Jika penyimpangan tersebut dilakukan maka sanksinya pun sangat keras. Mereka wajib dibunuh, sebagian ulama ada yang menyatakan dirajam, ada yang menyatakan dijatuhkan dari atas bangunan yang tinggi hingga mati. Sanksi ini bukan hanya berlaku untuk pelaku, tetapi orang yang sebagai korban apabila ia dengan sukarela melakukan penyimpangan tersebut. Selain itu, islam juga mengharamkan menjadikan media sebagai wasilah untuk mempromosikan penyimpangan yang diharamkan dalam Islam.
Adapun penyimpangan yang dimaksudkan seperti Gay, Lesbian dan sejenisnya adalah jelas tidak boleh dianggap sebagai hak asasi manusia, karena perkembangannya bisa merusak kehidupan generasi umat manusia. HAM dibawah Undang-undang bukanlah dalil yang sepenuhnya terikat dengan syariat islam, oleh karena itu tidak bisa menjadikan HAM sebagai alasan untuk melindungi perilaku menyimpang tersebut. Jika tidak, maka perlu mempertanyakan akidah individu-indivudu yang memperjuangkan kebebasan gerakan LGBT. Wallahu’alam.(*)