Oleh : Rostia Mile/Penulis adalah Aktivis Dakwah
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah. “Kedua, pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah, dan antara desa dan kota. Pembangunan desa menjadi penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan pedesaan,” ujar Bamsoet dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta.
Salah satu dari tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 adalah mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan. Komitmen pemerataan pembangunan antarwilayah di antaranya tertuang dalam kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Pada periode 2015-2019, pemerintah melalui hasil evaluasi Kemendes menunjukkan masih ada sejumlah daerah yang berstatus tertinggal, namun ada pula sejumlah daerah yang berhasil mentas dari ketertinggalannya.
Sepuluh tahun yang lalu, dalam kampanye capres ada gagasan menarik tentang strategi pembangunan ekonomi, yakni yang terkenal dengan sebutan “membangun dari pinggiran”. Gagasan itu diusung oleh capres yang ternyata kemudian terpilih menjadi presiden RI hingga saat ini. Gagasan itu lebih lanjut diimplementasikan melalui dua strategi utama, yakni investasi publik besar-besaran di wilayah pinggiran, khususnya melalui program dana desa. Selain itu, melalui investasi swasta dan publik untuk membuka konektivitas antarwilayah melalui pembangunan prasarana dan sarana transportasi. Strategi itu, antara lain, didukung pendanaan hasil dari realokasi APBN dari yang sebelumnya banyak tersedot ke subsidi BBM menuju penggunaan untuk pembangunan infrastruktur.
Adapun dana sebanyak Rp 25 miliar telah digelontorkan Pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk membangun berbagai infrastruktur di Kecamatan Biluhu. Ini terungkap saat peresmian aula kantor desa dan jamban keluarga di Kantor Desa Biluhu Tengah, Senin (15/1/2024). Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo ketika memberikan sambutan pada kegiatan tersebut. Ia mengemukakan, anggaran sebesar itu digelontorkan pihaknya guna mewujudkan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Kabupaten Gorontalo. Menurutnya, pembangunan yang merata bisa memberikan dampak pada indeks generasi.
Disamping itu, baru kali ini adanya penyelenggaraan workshop penguatan pencapaian SDGs desa untuk mewujudkan pembangunan desa berkelanjutan. Sebagaimana pernyataan dari bupati Pohuwato oleh Siapul A. Mbuinga mengatakan data yang dihasilkan oleh satgas SDGs desa digunakan sebagai bahan rekomendasi penyusunan program dan kegiatan pembangunan desa berdasarkan tahapan sebagaimana ketentuan Pasal 14 Permendesa, PDTT Nomor 21 tahun 2020 yaitu pendataan desa, perencanaan pembangunan desa, pelaksanaan pembangunan desa, dan pertanggungjawaban pembangunan desa.
Akan tetapi realitanya di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Ditetapkan adanya kasus korupsi oleh mantan kepala desa (kades) berinisial SP (55) yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana desa dengan kerugian Rp 737 juta. SP ditetapkan tersangka bersama mantan bendaharanya berinisial ZK (33).
Ekspetasi Tak Sesuai Realita
Pembangunan desa diklaim dapat memeratakan adanya pembangunan dan membawa kesejahteraan masyarakat desa. Namun sayangnya realita ini tidak sejalan dengan yang diharapkan, hingga hari ini masih banyak penduduk miskin yang ada di desa, dan masih banyak desa yang masuk pada kategori tertinggal. Apalagi maraknya urbanisasi terlebih paska lebaran yang membuktikan adanya kesenjangan tersebut.
Adapun dapat dilihat catatan kritis perihal SDGs Desa dan Pembangunan Desa yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu desentralisasi pemerintah dan liberalisasi swasta. Dimana pemerintah pusat memberikan kebebasan pada perangkat desa untuk mengembangkan desa masing-masing. Hal ini menunjukkan beban negara sebagai pengurus dan pelayan kepentingan rakyat secara praktis akan berkurang. Sebab setiap desa bisa mengambil kebijakan untuk desanya, sehingga akan ada celah swasta memanfaatkan desa sebagai target eksploitasi mereka yang berarti pintu liberalisasi desa akan terbuka, semisal adanya pengembangan desa wisata, energi terbarukan, dan kemitraan desa dengan pihak luar.
Bukan hanya itu, desa tanpa kemiskinan dan kelaparan tidak akan terwujud jika sumber masalahnya belum dituntaskan. Kemiskinan dan kelaparan bukanlah keinginan semua orang. Ada banyak kondisi yang membuat orang bisa miskin dan kelaparan. Salah satunya adalah kebijakan negara yang mengabaikan hajat hidup rakyat. Jika kita cermati, kemiskinan hari ini lebih disebabkan sistem kapitalisme yang tertuang dalam kebijakan pro kapitalis neoliberal. Berdasarkan catatan BPS, pada 2021, angka kemiskinan di pedesaan menurun. Namun, tetap saja angka tersebut berpotensi naik mengingat standar kemiskinan di Indonesia bisa diatur sesuai kepentingan.
Sebagaimana adanya berbagai permasalahan desa yang terjadi hari ini, seperti pendidikan, kesehatan, akses air bersih, sanitasi, energi terbarukan, pertumbuhan ekonomi, dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lainnya. Sebenarnya hal ini membutuhkan tanggungjawab langsung oleh negara dalam pembiayaan dan pemenuhan masyarakat. Sebab negara semestinya membangun infrastruktur publik, seperti klinik, rumah sakit, sekolah, jalan umum, pengelolaan, dan distribusi air bersih dengan fasilitas yang lengkap dan layak untuk digunakan oleh masyarakat.
Terlebih lagi kita melihat dalam sistem hari ini, banyak kasus korupsi yang mengakar tanpa adanya solusi yang bisa memberikan efek jerah kepada setiap pelakunya. Sebagaimana yang terjadi kasus korupsi dana desa oleh pejabat desa yang menjadikan pemerataan hanya ilusi, namun tidak terlaksanakan. Sebab pada sistem desentralisasi yang diterapkan juga mengakibatkan tidak meratanya pembangunan, karena kondisi kemampuan daerah yang berbeda-beda.
Dan pada akhirnya, masyarakat akan terserap sebagai tenaga kerja, tetapi pundi-pundi uang dari pengembangan desa wisata akan tetap mengalir ke kantong-kantong pengusaha/ kapitalis. Pasalnya, untuk mengembangkan desa menjadi tempat wisata jelas membutuhkan dana yang besar dari pengusaha atau swasta yang mau berinvestasi. Alhasil, program SDGs desa hanyalah kepanjangan tangan dari SDGs global yang makin mengukuhkan hegemoni ideologi kapitalisme.
Hanya Islam yang Mampu Meratakan Pembangunan Desa Sejahtera
Sistem pemerintahan Islam sebagai jalan akan melaksanakan Pembangunan secara merata di semua wilayahnya. Di dukung sistem sentralisasi, semua daerah akan dalam pantauannya. Dengan pejabat dan pegawai yang Amanah akan terwujud desa yang maju dan rakyat Sejahtera sebagaimana di wilayah kota.
Dalam Islam, desa adalah bagian wilayah negara. Pemerintahan Islam bersifat sentralisasi atau terpusat. Artinya dapat dilihat bahwa penguasa wilayah, baik tingkat provinsi, kota/kabupaten, maupun desa, diangkat oleh pemimpin islam (khalifah) untuk menjalankan kebijakan negara. Tidak ada otonomi daerah atau desentralisasi sebagaimana praktik yang terjadi hari ini, termasuk dalam hal pengelolaan dana. Semua pembiayaan dan kebijakan wilayah harus diketahui dan mendapat persetujuan dari pemimpin islam (khalifah).
Sebab, negara dalam sistem pemerintahan Islam akan menjalankan fungsinya secara optimal sebagai raa’in (pengurus). Di antaranya yaitu, menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti penyediaan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Serta seluruh pemenuhan tersebut berbasis mudah, murah, dan cepat akan mengurai angka kemiskinan dan kelaparan yang terjadi. Bahkan terjamin tidak akan muncul kasus kelaparan, stunting, gizi buruk, dan kemiskinan jika kebutuhan asasi rakyat terpenuhi dengan baik.
Bukan hanya itu, negara dalam sistem pemerintahan islam akan membangun infrastruktur memadai hingga pelosok desa. Jika negara mencukupi desa dengan sarana prasarana yang cukup, persoalan akses pendidikan, layanan kesehatan, sanitasi dan air bersih, dan kesenjangan desa dan kota tidak akan ada.
Beserta pembiayaan untuk pembangunan desa akan dijamin penuh oleh negara sistem pemerintahan Islam melalui pengelolaan pemasukan Baitulmal. Adapun untuk kemitraan kerja sama internasional harus mendapat persetujuan dari pemimpin Islam(khalifah). Akan tetapi kemitraan yang dimaksud tidak boleh dalam perkara yang diharamkan Islam, seperti eksploitasi SDA desa, jual beli aset, kekayaan alam, serta sarana yang menjadi milik publik, termasuk perjanjian internasional yang membuat negara harus terikat dan tunduk dengan aturan tersebut.
Sebab di dalam negara sistem pemerintah Islam tidak akan mengikat diri dengan adanya program global semacam SDGs dan perjanjian internasional sejenisnya, yang menegasikan sistem pemerintahan sebagai negara yang mandiri dan berdaulat. Bahkan kesejahteraan rakyat, baik desa dan kota akan terwujud dalam sistem Islam yang terterapkan dalam semua aspek, yakni politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan keamanan.
Sebagaimana firman Allah SWT., dalam TQS. An-Nisa : 141 “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.(*)