
Oleh: Alifah Saifanah
Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jilid II resmi berlaku setelah ditandatangani Presiden Jokowi pada 2-1-2024. Undang-undang itu menjadi UU 1/2024. UU ITE jilid II ini mengubah sejumlah ketentuan di UU 11/2008 dan UU 19/2016. (CNN Indonesia, 4-1-2024).
Melalui revisi UU ITE tersebut, pemerintah berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
Revisi UU ITE ini pun diharapkan dapat melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik, dokumen elektronik, teknologi informasi, atau transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban. Disisi lain Masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi.
Sejumlah Pasal karet dan peluang sebagai alat gebuk
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengungkapkan sejumlah pasal yang masih bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
“Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” tulis Koalisi Serius dalam keterangan tertulisnya(Liputan6.com ,6-12024).
Salah satu pasal karet tentang pencemaran nama baik adalah pasal 27. Pasal tersebut sudah menjadi salah satu pasal karet UU ITE sejak versi I mengalami sejumlah perubahan. Pasal ini kemudian dirampingkan dari empat ayat menjadi dua ayat. Ayat yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman dihapus. Namun, sebagai gantinya revisi kedua UU ITE itu telah mencantumkan dua pasal baru, yaitu Pasal 27A dan 27B.
“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik,” bunyi pasal 27A. Sedangkan pasal 27B mengatur larangan mengancam orang lain menggunakan saluran elektronik
Selain itu juga ditambahkan aturan tentang larangan menyebarkan berita bohong sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 ayat (3).
Meski demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa revisi UU ITE juga berpotensi sebagai alat pukul. Sebab dalam pasal dalam pasal 43 (i) disebutkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bisa memerintahkan PSE untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, e-money, dan atau aset digital.” Dimana PPNS disini ditunjuk dari kalangan pemerintah. Dengan kata lain negara bisa dengan mudah menutup akses informasi yang mereka anggap “bahaya”.
revisi ini diduga menjadi pintu intervensi pemerintah sehingga pemerintah punya wewenang dalam mengintervensi penyelenggaraan sistem elektronik berkat revisi UU ITE. Ini diatur dalam pasal 40A. Berikutnya, ayat (2) pasal tersebut mengatur mengatur pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Juga ayat (3) yang berbunyi, “Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dalam hal ini, penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi administratif; teguran tertulis; denda administratif; penghentian sementara; hingga pemutusan akses jika tidak taat.
Revisi UU ITE Mash memuat pasal-pasal bermasalah tentu ini menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada di dalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap hak berpendapat. Alih-alih akan memberikan perlindugan terhadap hak asasi manusia dalam berpendapat, justru akan menjadi dasar hukum atas kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyat. Sebelumnya, jika pemerintah mengajukan pemblokiran akun media sosial kepada PSE, maka PSE akan menimbang-nimbang terlebih dahulu apakah benar akun tersebut melanggar panduan dan kebijakan komunitas mereka. Namun sekarang, PSE justru wajib mematuhi kebijakan sesuai arahan penguasa. Dengan kata lain UU ITE justru rawan konflik kepentingan dan berpotensi digunakan sebagai alat gebuk terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa.
Strategi Media dalam Islam
Adanyaa Bongkar pasang UU sebagaimana revisi jilid II UU ITE ini sejatinya sudah menjadi hal biasa terjadi dalam sistem aturan yang berasas pada manfaat demi memuluskan berbagai kepentingan. Akibatnya dalam menentukan standar benar dan salah pun menjadi samar dan tidak jelas dan mengikuti standar para penguasa.
Begitu pula dengan fungsi teknologi informasi yang semestinya memudahkan urusan manusia khususnya sebagai alat jitu masyarakat dalam melakukan kritik terhadap pemerintah karena lebih cepat viral dan mengena langsung kepada pemerintah. nyatanya di tangan sistem yang batil malah dibungkam dan disetir menjadi alat legalisasi represifisme.
Berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem islam, yang tidak lain adalah teknologi sebagai sarana dakwah dalam menyampaikN kebenaran. Di sisi lain, teknologi informasi beserta sarana media lainnya akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan umat, penyalur aspirasi rakyat, serta alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.
Islam memandang bahwa kritik adalah bentuk kasih sayang, tanda rakyat peduli dengan negrinya. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa beramar makuf nahi munkar dengan memberi nasihat kepada penguasa, dan ini pahalanya besar di sisi Allah. Bahkan aktivitas muhasabah kepada penguasa merupakan sebaik-baik jihad, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sehingganya dalam hal ini sistem Islam akan menjadikan teknologi informasi dan media sebagai sarana dalam memfasilitasi masyarakat. Wallahu’alam bii Showab.(*)