
Penulis: Nurfajri Aulia / Aktivis Muslimah
Pada selasa (2/1/24) Presiden Joko Widodo menghadiri acara pembinaan petani Jawa Tengah, di Banyumas. Pada kesempatan itu beliau mengatakan Indonesia membutuhkan impor beras karena tidak mencapai swasembada. Juga karena jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dan mereka butuh beras. Dilansir dari Jakarta, CNBC Indonesia.
Pada kesempatan lain, Presiden juga mengatakan kita butuh impor untuk pasokan pangan karena dampak El-Nino masih akan berlanjut sampai 2024.
Namun jika melihat rekam jejak Indonesia soal pangan khususnya dalam hal ini adalah beras, Indonesia sudah melakukan impor beras sejak tahun 1950-an yaitu masa orde lama.
Nah, ini menjadi sebuah keraguan terutama bagi para aktivis dan pengamat politik. Kalau memang hanya karena El-Nino ataupun untuk menekan harga beras di pasar, mengapa impor besar-besaran sudah terus dilakukan sejak dulu. Padahal jika melihat fakta lapangan impor beras justru banyak merugikan para petani lokal, juga harga beras dari tahun ke tahun justru semakin naik hingga menjadi sulit dijangkau rakyat berpenghasilan kecil.
Sistem Pertanian yang Kacau
Pemerintah berharap agar Indonesia memiliki ketahanan pangan agar mampu menjadi negara dengan kedaulatan pangan. Namun, bagaimana bisa kedaulatan pangan mampu terwujud jika dari persoalan paling dasar saja sudah kacau.
Dari segi pertanian, tidak sedikit petani mengeluhkan harga bibit dan pupuk yang mahal. Belum lagi harus membayar para pekerja dan sulitnya pengairan ketika kemarau tiba. Ditambah banyaknya petani yang kehilangan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan menjadi wilayah pabrik, perkantoran, dan berbagai pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.
Sayangnya, ketika musim panen tiba harga beras justru anjlok turun karena pemerintah tetap melakukan impor. Hingga sejumlah petani mengatakan mereka rugi karena biaya modalnya lebih tinggi daripada penjualan hasil panen. Apalagi kalau harus menghadapi resiko gagal panen.
Melihat hal ini, maka wajar minat generasi pada pertanian semakin berkurang, bahkan setiap tahunnya Indonesia kehilangan petani mencapai angka 1 juta orang yang berhenti bekerja menjadi petani karena upah yang rendah. Akibat tidak adanya jaminan kesejahteraan bagi petani, masyarakat menjadi sedikit demi sedikit kehilangan minat dalam pertanian dan beralih menjadi buruh.
Kecurangan Distribusi
Kecurangan distribusi menjadi salah satu penyebab mahalnya harga beras saat sampai ketangan rakyat miskin. Seperti aktivitas penimbunan dan mafia-mafia beras yang dilakukan oleh berbagai oknum seperti beberapa perusahaan tertentu, ketidakmerataan pembagian jaminan pangan, hingga kendali harga pasar yang ditentukan oleh korporasi bukan oleh negara. Ini mengakibatkan rakyat merugi dan semakin kesulitan mendapatkan kebutuhan pangan. Miris rasanya ketika mendengar seorang yang menikam perut sendiri karena tak mampu beli beras.
Lantas, apakah penyebab semua ini?
Hal ini terjadi tidak lepas dari akibat penerapan sistem ekonomi sekular kapitalis yang menjadikan setiap aktivitas perekonomian negara terpisah dari aturan agama (Islam), dan yang menjadi fokus utamanya adalah hanya bagaimana caranya agar negara maupun oknum berduit itu mendapat untung yang banyak. Karena itu praktik curang pun bisa dengan mudah dilakukan tanpa melihat halal haram.
Sekular kapitalis juga menjadikan para penguasa membuat kebijakan hanya berdasarkan akal manusia yang terbatas, bahkan ada juga yang membuat kebijakan sesuai kepentinganya bukan berdasar pada aturan pencipta. Mengabaikan pandangan agama dalam membuat kebijakan. Karena itu kebijakan salah bisa saja terjadi dan dampaknya sangat fatal terhadap masyarakat.
Seperti dalam masalah ketahanan pangan, khususnya beras, tidak mampu diselesaikan hingga akar persoalan tapi impor justru yang selalu menjadi solusi padahal dampak kerugiannya sampai pada para petani. Juga lahan pertanian yang seharusnya milik petani menjadi begitu mudah diberikan negara pada pengusaha perusahaan besar dengan alasan investasi. Hal ini menjadikan adanya ketergantungan Indonesia pada negara-negara asing, karenanya kedaulatan pangan menjadi bagai sebuah mimpi.
Dari sini dapat terlihat bahwa permasalahan pangan khususnya beras adalah masalah tersistem, tidak bisa hanya menyalahkan cuaca (fenomena alam). Karena itu selama dasar sistemnya salah, maka masalah krisis pangan akan sangat sulit bahkan bisa jadi mustahil diselesaikan.
Masihkah kita mau terus berada dalam kondisi mencekik seperti ini?
Saatnya Kembali Pada Aturan yang Shahih
Islam memiliki sistem kepemimpinan dan sistem perekonomian yang sangat jelas dan rinci berdiri diatas dasar aqidah dan peraturan Islam (Qur’an dan Sunnah), dengan Allah swt sebagai pembuat aturan.
Seorang khalifah atau pemimpin dalam Islam bertanggung jawab memenuhi kebutuhan umat, terutama dalam masalah pangan seorang khalifah haram hukumnya membiarkan rakyatnya kelaparan. Khalifah dalam kepemimpinan Islam wajib menjamin kesejahteraan rakyat, dan harus memahami bahwa segala kebijakan yang dikeluarkan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah swt diakhirat kelak.
Adapun dalam masalah pertanian dan perputaran ekonomi negara, Islam memiliki aturan luar biasa yang jika dikaji lebih dalam dan diterapkan akan sangat kecil kemungkinan terjadi kesalahan sekaligus mampu mensejahterkan seluruh umat. Sistem peraturan yang tidak akan mampu terpikirkan oleh akal manusia yang terbatas.
Seperti pembagian kepemilikan, perintah menghidupkan tanah mati, peningkatan kualitas pertanian, kebijakan pembagian tanah oleh negara dalam Islam, pelarangan keras bagi negara asing maupun perusahan-perusahaan untuk menguasai tanah yang sudah menjadi milik umat dan berbagai ketentuan lainnya sesuai kaidah syara’.
Islam juga melarang praktik penimbunan, monopoli, sistem riba, dan berbagai praktik kecurangan pasar lainnya. Ini dapat memudahkan umat untuk mendapatkan kebutuhan pangan tanpa harus bergantung pada negara asing. Disamping Islam juga melarang negara bergantung pada pihak asing karena dapat mengganggu pertahanan negara.
Selain itu ketika menghadapi kemarau panjang hingga krisis pangan, Islam memiliki contoh bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab ra. menyikapi krisis tersebut dengan rasa tanggung jawabnya yang luar biasa mengutamakan rakyat. Beliau lebih memilih memakan roti saja atau tidak makan samasekali dibandingkan ia harus membiarkan dirinya bergelimang harta sementara rakyatnya kelaparan.
Padahal jika kita melihat beliau adalah salah seorang sahabat rasul yang mulia, pemimpin kaum muslim, seorang yang keteguhan dan ketakwaannya pada Allah luar biasa jika dibandingkan dengan para pemimpin yang hanya manusia biasa.
Demikian, pantaslah Islam dikatakan rahmat bagi seluruh alam. Namun peraturan Islam yang mulia hanya akan terwujud jika Islam di jadikan sebagai aturan kehidupan bernegara, bukan sebatas agama ritual bagi individu per individu semata.(*)