
Oleh: Inda Anggriani (Mahasiswa & Aktvis Dakwah)
Menjelang masuknya tahun ajaran baru 2024/2025 pemberitaan mengenai kenaikan biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang terjadi di sejumlah kampus negeri menjadi topik yang ramai dibincangkan di tengah masyarakat. Adanya kenaikan biaya UKT mengundang gelombang protes dari para mahasiswa. Diketahui aksi protes terhadap kenaikan UKT dilakukan oleh mahasiswa dari beberapa universitas seperti Univeristas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Protes ini dilakukan karena mahasiswa menilai bahwa kebijakan mengenai kenaikan biaya UKT sangat memberatkan.
Di lansir dari (cnbcindonesia.com) bahwa para mahasiswa melakukan aksi protes dengan menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat. Merespon hal ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan, agar penyelenggaran pendidikan bisa memenuhi standar mutu maka biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa.
Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan seperti di negara lain. Hal ini dikarenakan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum mampu menutup semua kebutuhan operasional. Selain itu ia juga mengatakan, kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yaitu dari SD, SMP hingga SMA. Oleh sebab itu, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi.
Bukan Persoalan Baru
Adanya kenaikan biaya uang kuliah tunggal (UKT) bukan hanya kali ini terjadi akan tetapi nyaris tiap tahun biaya UKT kian melejit, hal ini semakin menggambarkan potret buram pendidikan di negeri kita. Tentu fenomena ini memberikan dampak kepada para mahasiswa ataupun calon mahasiswa. Alih-alih fokus menuntut ilmu dan mengembangkan diri, mahasiswa malah dipusingkan dengan biaya kuliah yang tinggi.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Kemendikbudristek 54/P/2024 tentang besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) serta Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di Lingkungan Kemendikbudristek yang mengatur pemetaan tarif UKT menjadi lebih spesifik di tiap program studi. Aturan ini menjadi acuan untuk penetapan UKT dan biaya lainnya. Terbitnya aturan ini melegitimasi kenaikan biaya kuliah tahun ini.
Selain bisa menaikkan UKT, adanya aturan ini juga memungkinkan Pimpinan Perguruan Tinggi (PT) menetapkan kenaikan tarif Iuran Pengembangan Institusi (IPI) hingga empat kali lipat dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) per tahun di setiap prodi. Meskipun pada penerapannya aturan ini mensyaratkan prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua atau pihak yang membiayai pendidikan mahasiswa yang bersangkutan, namun realitanya aturan ini tetaplah dinilai sewenang-wenang.
Pemerintah saat ini memandang bahwa aturan mengenai penyesuaian biaya pendidikan PT adalah hal yang realistis mengingat adanya inflasi yang mempengaruhi biaya penyelenggaraan pendidikan akhir-akhir ini. Oleh karena itu wajar saja jika pihak pemerintah memberi kewenangan kepada Perguruan Tinggi untuk menaikkan biaya pendidikan, tetapi tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip diatas.
Kebijakan pemberian otonomi kampus yang makin besar pada tahun 2012 menjadi titik awal timbulnya masalah mengenai mahalnya biaya kuliah yang tak kunjung selesai hingga saat ini. Dimana saat itu pemerintah mengatur perubahan status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) yang diterbitkan melalui UU No. 12 Tahun 2012.
Sebelum adanya perubahan status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH), semua pembiayaan PTN dicover penuh oleh negara sehingga mahasiswa tidak terlalu diberatkan karena pembiayaan masih bisa ditekan sedemikian rupa. Namun sayangnya, ketika PTN berubah menjadi PTN-BH maka pengelolaan kampus sudah menggunakan paradigma bisnis secara swadaya oleh lembaga. Alhasil eksistensi mahasiwa dipandang sebagai salah satu sumber utama pembiayaan lembaga.
Hingga Januari 2024, tercatat sudah ada 24 PT di Indonesia yang memiliki status PTN-BH. Sedangkan PT yang lainnya masih sedang berusaha menjadi PTN-BH. Beberapa PT terus berupaya mengejar status PTN-BH. Unsoed, misalnya yang belum lama ini sempat viral di media sosial hingga didemo mahasiswa karena menaikkan UKT hingga lima kali lipat meski akhirnya aturan UKT ini dicabut. Selain itu, dilansir dari (ANTARAGORONTALO, 10/5/2024 ) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada bulan mei ini menggelar kegiatan untuk penguatan sumber daya manusia bagi dosen dan tenaga pendidikan sebagai upaya persiapan menuju status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH).
Bukti Abainya Negara
Untuk beralih status menjadi PTN-BH bukanlah suatu hal yang bisa dikatakan mudah. Hal ini dikarenakan kampus harus memiliki dana saving dengan total minimal Rp100 Miliar agar operasional kampusnya tetap terjaga. Meskipun dalam hal ini pemerintah sudah memberikan subsidi namun jumlahnya masih sangat terbatas, terbukti biaya yang diberikan oleh pemerintah hanya sekitar 30 persen dari total semua anggaran yang diperlukan. Sementara itu, sisanya yakni 70 persen lagi, diserahkan kewenangan kepada pihak kampus untuk mencari dana sendiri secara swadaya.
Antusiasme liberalisasi di PT sejalan dengan liberalisasi ekonomi di berbagai sektor, termasuk sektor layanan publik makin terbuka dan ini merupakan konsekuensi atas keterikatan negara pada berbagai perjanjian internasional, khususnya liberalisasi pasar bebas ala kapitalisme global. Dengan adanya hal ini
menjadikan berbagai PT terus didorong untuk meraih standar kelas dunia atau World Class University (WCU) dengan indikator standar mutu dan akreditas yang ditetapkan pemerintah dan lembaga dunia.
Seluruh PT tentulah ingin meningkatkan perfoma dan daya saing di pasar pendidikan, dan untuk mencapai hal tersebut maka PT didorong untuk memiliki infrastruktur tertentu, kualifikasi dosen tertentu, rilis hasil-hasil riset tertentu, dll. Semua ini pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga konsekuensi yang muncul adalah meningkatnya biaya operasional yang harus dikeluarkan kampus tiap tahunnya. Karena itulah, fokus lembaga pendidikan tinggi bukan lagi untuk meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan pengajaran; Penelitian dan pengembangan; serta Pengabdian kepada masyarakat. Di sisi lain saat ini pendidikan tinggi makin jauh dari visi misi pendidikan yang mulia yang katanya diinginkan negeri ini.
Tidak cukup sampai disitu, hal lain yang terjadi di negeri ini dan sangat miris adalah maraknya kasus-kasus korupsi di PT, termasuk kasus penjualan orang dengan modus magang di perusahaan-perusahaan luar negeri. Lebih membahayakannya lagi dengan adanya paradigma pengelolaan pendidikan tinggi ala kapitalisme yang semakin mengungkuhkan kekuasaan korporasi serta memperpanjang umur penjajahan kapatalisme global di negeri ini.
Semua hal itu wajar terjadi karena negera menerapkan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme di negeri ini menjadikan posisi penguasa sebagai perpanjangan tangan kepentingan para pemodal. Hal ini semakin menunjukan bahwa negara abai terhadap urusan rakyat. Karena memang negara yang menerapkan sistem ini, jelas dituntut untuk lepas tangan dalam hal mengurus rakyatnya dan negara juga dituntut untuk mengelola negara seperti mengelola perusahaan.
Butuh Sistem Islam Sebagai Solusi
Persoalan mengenai kenaikan biaya pendidikan hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat saat ini, masalah ini tidak mungkin terselesaikan selagi negara masih menerapkan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal.
Persoalan ini membutuhkan solusi yang fundamental, satu-satunya solusi adalah dengan mengembalikan penerapan sistem pendidikan islam yang sudah terbukti secara empiris berhasil melahirkan generasi cemerlang penopang peradaban emas Islam. Dalam penerapannya, sistem ini didukung oleh sistem-sistem aturan islam lainnya, mulai dari sistem politik islam, sistem ekonomi islam, sistem pergaulan islam, dan sistem-sistem lainnya yang diterapkan secara kafah (menyeluruh) oleh sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiah.
Sistem islam tegak di atas asas yang sahih (benar), yakni keimanan kepada Allah Swt. sebagai pencipta dan pemilik kedaulatan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Syariat islam menetapkan bahwa penguasa berfungsi sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Artinya, mereka mengemban amanah yang besar, yakni memastikan seluruh hak dasar individu dan komunal rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bisa diakses oleh semua orang secara mudah, bermutu tinggi, murah bahkan gratis.
Untuk bisa menjadikan semua hak rakyat terpenuhi maka harus dengan jalan menerapkan seluruh hukum Islam secara sempurna, termasuk menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam yang menjamin masyarakat Islam hidup sejahtera dan penuh berkah. Negara islam memiliki sumber-sumber pemasukan yang sangat besar dan berkelanjutan, seperti kepemilikan umum berupa sumber daya alam (hasil tambang), fai, ganimah, kharaj, jizyah, dll. semua itu dikelola dengan baik oleh negara sehingga bisa digunakan untuk modal pembangunan.
Dengan demikian negara akan mampu memenuhi segala bentuk pendanaan, sarana prasarana, dan semua instrumen pendidikan yang dibutuhkan. Sehingga lembaga pendidikan dan para pelaksananya juga akan benar-benar fokus mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia tanpa harus dipusingkan dengan urusan dana. Selain itu, negara islam akan mampu menyediakan pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang murah bahkan gratis.
Jika kita mencari tahu lebih dalam mengenai sejarah islam, maka akan kita dapati bahwa sejarah peradaban islam merupakan role model terbaik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi dunia selama belasan abad. Tidak heran jika para pelajar dunia berbondong-bondong ingin belajar di universitas-univeritas Islam di pusat-pusat kota Khilafah. Pendidikan tinggi dalam islam bertujuan untuk membangun kapasitas keilmuan, bukan memenuhi tuntutan industri seperti yang terjadi pada pendidikan hari ini. Alhasil hanya sistem islam yang mampu menyelesaikan problem umat termasuk masalah biaya pendidikan. Wallahu A’lam Bishawab.(*)