
Oleh: Dr. H. Abdul Wahid, MA-(Muballigh & Akademisi Makassar)
Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan, mengajak umat Islam untuk beribadah dengan tetap tenang namun pada saat yang sama tetap berupaya menghindari paham radikal; dan terus waspada terhadap sekecil apa pun potensi yang akan merusak kamtibmas yang selama ini sudah terjalin di tengah masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan dan daerah lainnya di Indonesia.
Seruan dari Polri ini memiliki arti mendalam dan penting bagi masyarakat khususnya umat Islam, karena ini mengisyaratkan bahwa Polri sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah akan selalu hadir saat masyarakat membutuhkannya dan tidak akan tinggal diam serta terus proaktif dalam memantau, mengawasi dan menindak tegas sesuai ketentuan Undang-Undang siapa pun orang (kelompok) yang akan mencoba mengganggu tatanan kehidupan masyarakat yang selama ini sudah aman dan damai.
Secara jujur kita akui bahwa persoalan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks bagaikan gurita yang menjalar kemana-mana sehingga seakan tidak ada habisnya, hal ini sejalan dengan pepatah lama, “sudah jatuh tertimpa tangga”, artinya belum selesai satu persoalan malah muncul persoalan lain.
Diantara persoalan bangsa saat ini yang mulai menghiasi banyak media adalah isu radikalisme dan terorisme khususnya pasca peristiwa bom bunuh diri di depan gereja Katederal Makassar akhir Maret lalu. Dari rentetan peristiwa tersebut kemudian ada sejumlah orang yang diduga bagian dari jaringan teroris dan terkait bom Makassar sehingga aparat melakukan penangkapan bahkan ada sejumlah orang terduga teroris terpaksa aparat melumpuhkannya hingga menembak mati karena yang bersangkutan melakukan perlawanan saat akan diamankan pihak keamanan.
Di sejumlah literatur disebutkan awal mula dari adanya istilah “radikal” di dunia sangat identik dengan masalah politik. Diantara literatur yang mengungkap akan hal ini adalah tulisan A. Maftuh Abegebriel dkk., yang berjudul, “Negara Tuhan: The Tematic Encyclopedia”
Dalam tulisan itu disebutkan, keberadaan kelompok radikal yang “mengatasnamakan agama” khususnya Islam, paling tidak bermula dari pemahaman terhadap teks-teks agama secara sempit, artinya sebuah pemahaman yang mengabaikan aspek historis dan sosiologis sebagaimana mestinya sehingga kemudian membuat resistensi terhadap substansi ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Pemahaman yang sempit dalam memahami ajaran agama kemudian berujung pada sikap radikal yang diterjemahkan dalam bentuk teror dan bom bunuh diri, karena para pelaku tersebut diduga telah di doktrin dan dicuci otaknya oleh oknum tertentu yang menggunakan dalil-dalil agama sebagai pembenaran.
Hal ini sangat disayangkan sebagai bangsa; apalagi Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang aman dan masyarakatnya sangat toleran antar umat beragama, diikat oleh semangat kebhinekaan dan Pancasila sebagai role model dalam setiap kehidupan masyarakat. Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari warisan para ulama penyebar Islam ke Nusantara pada masa silam, dimana mereka lebih mengedepankan pendekatan kultural dan moral dibandingkan kekerasan, sehingga Islam secara perlahan bisa diterima sebagai bagian dari agama yang bisa hidup di Nusantara hingga saat ini.
Dalam konteks itulah, maka model Islam yang moderat, toleran dan cinta damai di republik ini harus dikembalikan dan dirawat, demi terwujudnya kehidupan bangsa yang harmoni. Dari sini diketahui dengan jelas bahwa keberadaan kelompok radikal yang membawa “nama Islam” sangat bertolak belakang dengan esensi ajaran Islam sebagai agama yang cinta damai khususnya yang ada di Nusantara.
Oleh karena itu, minimal ada dua langkah yang dapat dilakukan oleh umat Islam agar terhindar dari doktrin paham radikal yang selama ini telah “mencoreng citra Islam” diantaranya:
Pertama: Umat Islam harus berupaya memahami agama secara komprehensif, totalitas yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan Islam kaffah,(QS.al-Baqarah:208). Pemahaman Islam model ini berusaha memahami Islam dengan cara memadukan antara teks dan konteks sosial masyarakat, sehingga akan lebih mudah bersinergi dengan nilai-nilai kearifan lokal; yang kemudian terwujud dalam kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
Kedua: Umat Islam sebagai bagian dari anak bangsa harus terus membantu pemerintah khususnya jajaran Polri dalam memberantas dan mempersempit ruang gerak kelompok radikal baik di Makassar, Sulawesi Selatan maupun daerah lainnya di Indonesia, dengan cara tidak mudah terprovokasi dengan ajaran (paham) yang dicurigai bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga jika ada gerak-gerik dari kelompok tertentu yang mencurigakan, maka masyarakat harus proaktif untuk segera melaporkannya kepada pihak keamanan terdekat.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Indonesia khususnya umat Islam yang tengah menjalankan ibadah puasa ramadhan tidak perlu khawatir, apa lagi takut; tetaplah beribadah dengan tenang, karena yakinlah bahwa ketika semua anak bangsa membangun sinergi yang kuat dengan jajaran Polri khususnya, maka gerbong dan kelompok radikal perlahan bisa dibasmi dari republik ini.(*)