NEWSNESIA.ID – JAKARTA – Kinerja sektor kehutanan di Indonesia dinilai sangat rendah dan cenderung menghambat pembangunan sektor lain. Padahal, pemanfaatan kawasan hutan yang diarahkan dengan tepat justru akan mempercepat pembangunan dan menguntungkan negara yang pada gilirannya akan menyejahterakan masyarakat.
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan, kehutanan selama ini fakir investasi. Dari total realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada periode 2020-2022 yang sebesar Rp3.256 triliun, sektor kehutanan hanya mampu menarik investasi sebesar Rp 28 triliun. Sementara dari total Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp50.267 triliun di 2023, investasi asing di sektor kehutanan hanya sebesar Rp 96 triliun.
Investasi sekecil itu berbanding terbalik dengan lahan kawasan kehutanan yang begitu luas. Sudarsono mengatakan, dari total luas lahan di Indonesia, sebesar 2/3 merupakan kawasan hutan. Kenyataannya, bisnis hutan alam semakin menyusut, sementara perkembangan hutan tanaman sangat lambat, bahkan stagnan.
“Dengan menguasai 2/3 lahan, sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB (produk domestik bruto) kurang dari 1%. Terus kita mau makan apa?,” ucap Sudarsono dalam Roundtable CSO dan Media dengan tema Menegakkan Transparansi: Peran Media dalam Mengawal Proyek Energi dan Deforestasi di Gorontalo yang digelar di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Sudarsono menambahkan, setiap Rp 1 triliun investasi akan menyerap 1.500 tenaga kerja. Dengan investasi yang hanya sebesar Rp 28 triliun dalam periode 2020-2022, tenaga kerja yang diserap kehutanan sangat kecil sekali.
Tanpa perombakan radikal, lanjut Sudarsono, kehutanan di Indonesia tidak punya masa depan. Masalahnya, pemanfaatan hutan seringkali terhambat dengan isu deforestasi.
Menurut Sudarsono, deforestasi tak selalu berkonotasi negatif. Sebab, mustahil untuk melakukan pembangunan di luar Jawa tanpa terjadi deforestasi. Di Papua, misalnya, pasti akan terjadi deforestasi sebagai akibat pembangunan karena hampir seluruh wilayahnya masih hutan.
“Saya bilang ke orang Papua, kalau ada orang Jawa bilang kalian jangan lakukan deforestasi, bilang saja bahwa pulau Jawa saja yang harus dihutankan kembali. Biar kami gantian yang membangun. Kita harus jujur pada diri sendiri,” kata Sudarsono.
Pengelolaan sumber daya alam, termasuk sektor kehutanan yang bertanggungjawab dan berkontribusi besar terhadap ekonomi masyarakat sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.
Seperti di Provinsi Gorontalo, Wilayah yang selama ini menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia dengan angka prevalensi stunting sebesar 26,9% ini mulai dilirik investor. Salah satunya industri biomassa yang menjadi bagian penting dari proses transisi energi menuju energi baru terbarukan.
Investor besar yang sudah menanamkan investasinya di Gorontalo di antaranya adalah PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) yang bermitra dengan PT Inti Global Laksana (IGL) dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL).
Kemitraan itu telah menggelontorkan investasi sekitar Rp 1,7 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 1.064 pekerja. Mayoritas pekerja tersebut, sekitar 80%, merupakan warga lokal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI), Dikki Akhmar mengatakan, PT BTL juga membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari Rp 40 miliar sejak beroperasi hingga tahun 2024.
“Dari angka itu, 60% disalurkan ke pemerintah daerah yang selanjutnya akan dibagi 30% ke pemerintah provinsi dan sisanya untuk pemerintah kabupaten di mana industri beroperasi. Perusahaan juga menyalurkan CSR,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gorontalo pekan lalu.
Sebelumnya Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Sulawesi Bagian Utara memberikan penghargaan kepada PT BJA sebagai penghasil devisa ekspor terbesar di Gorontalo. Kontribusi PT BJA mencapai lebih dari 55 persen dari total devisa ekspor Provinsi Gorontalo.
Kepala Kantor Bea Cukai Gorontalo, Ade Zirwan mengatakan, penghargaan diberikan kepada PT Biomasa Jaya Abadi karena perusahaan tercatat sebagai penyumbang devisa ekspor terbesar di Gorontalo.
“Terjadi peningkatan nilai dan jumlah ekspor PT BJA. Kontribusi devisa hasil ekspor PT BJA mencapai Rp200-an miliar untuk 10 kali ekspor sejak awal tahun 2024 sampai pertengahan Agustus 2024,” ujar Ade di Manado akhir Agustus lalu.
Prof Sudarsono menegaskan, pemanfaatan hutan dalam bentuk hutan tanaman tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian hutan. Industri kayu di Indonesia, misalnya, 70% ada di Pulau Jawa. Sebesar 90% bahan bakunya berasal dari hutan tanaman rakyat. Kalau hutan tersebut ditanami, semestinya tidak akan ada persoalan kelestarian.
Kalau barang itu menguntungkan, pasti akan lestari. Menurut Sudarsono, hutan tanaman tidak akan habis meski produk hasil hutan terus digunakan. Sebab, orang pasti akan terus menanam tanaman tersebut.
“Kita harus memperjuangkan mana yang lebih menyejahterakan, mana yang lebih memakmurkan. Kalau yang akan memakmurkan kita adalah mempertahankan hutan, ya kita pertahankan. Tapi kalau yang lebih memakmurkan itu kita harus membuka hutan bahkan menghancurkan gunung, ya mengapa tidak?,” tegas Prof Sudarsono. (Adv/Rls)