BENCANA banjir dan longsor kembali menerpa Gorontalo. Pekan kedua Juli 2024 diwarnai oleh banjir di hampir seluruh wilayah provinsi berjuluk Serambi Madinah itu. Bencana terparah terjadi di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, di mana ratusan penambang emas terjebak di lubang-lubang dan camp tambang akibat banjir dan longsor.
Basarnas mencatat, hingga 9 Juli malam, terdapat 122 orang penambang jadi korban, 23 orang ditemukan tewas dan 39 orang lainnya masih belum ditemukan.
Korban terbesar dari bencana alam adalah manusia. Pemukiman dipenuhi air. Masyarakat tidak bisa beraktivitas normal seperti sedia kala. Kegiatan ibadah, pendidikan, dan perekomian menjadi terganggu. Bencana alam juga kerap merengut korban jiwa dan menimbulkan masalah baru berupa bencana sosial.
Tentu saja ini sebuah ironi, karena air hujan itu sebenarnya diturunkan oleh Allah sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya. Namun kini justru berbalik menjadi sumber bencana yang menghancurkan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
“Dialah yg menurunkan air dari langit bagi kamu, sebagiannya sebagai minuman dan sebagiannya bagi tumbuh-tumbuhan yang padanya kamu mengembala. Dengan air itu Allah menumbuhkan bagi kamu tanam-tanaman (seperti): zaitun, kurma, anggur dan segala jenis buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berfikir” (QS. 16: 10-11).
“Allah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah ia di Lembah-lembah menurut ukurannya, maka air itu membawa buih yang mengambang. Dan logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat- alat. Ada pula buih yang seperti buih arus itu” (QS. 13: 17).
Kenapa kenyataan ironik itu terjadi? Kenapa hujan berubah dari berkah menjadi musibah?
Banjir membawa pesan jelas kepada manusia bahwa ekosistem alam sedang tidak baik-baik saja. Bencana alam itu terjadi karena lingkungan di mana manusia hidup itu sedang mengalami “sakit” akibat siklusnya terganggu oleh ulah manusia.
Sesuai sunnatullah, siklus air hujan bermula dari pemanasan air laut, sungai, danau dll. Oleh sinar matahari, lalu menguap membentuk awan, dan pada titik tertentu uap-uap air itu akan jatuh dalam bintik-bintik air yang dikenal sebagai hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah akan kembali ke sungai, danau, rawa-rawa, laut, hutan dan ke tempat-tempat lainnya. Demikian seterusnya siklus air hujan terjadi.
Akan tetapi yang terjadi adalah hutan dan tanaman yang menjadi tempat penyimpanan air hujan telah habis ditebang. Rawa-rawa dan danau yang merupakan tempat tinggal air hujan telah mengalami pendangkalan dan penyempitan. Kali dan sungai yang menjadi “jalan raya” bagi distribusi air hujan ke tampat-tempat yang jauh (dari hulu ke hilir) telah dipenuhi sampah.
Sementara tanah-tanah lapang sebagai daerah resapan air ditutupi oleh aspal, cor semen, dan beton-beton bangunan sehingga menyebabkan pori-pori tanahnya tertutupi dan air pun tidak bisa masuk meresap ke dalam bumi.
Kondisi ini membuat air hujan kehilangan “tempat tinggal yang layak” hingga terpaksa mencari “tempat tinggal” lain ke pemukiman warga, perkampungan dan kota-kota dalam bentuk banjir. Dan air hujan pun tidak lagi menjadi rahmat bagi manusia.
Diakui atau tidak, manusia merupakan sebab utama bagi perubahan hujan dari berkah menjadi musibah. Sadar atau tidak manusia telah merusak sunnatullah siklus air hujan itu. Kerusakan siklus itu menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan di alam.
Air yang seharusnya mengalami siklus secara sederhana menjadi rumit dan berliku sehingga menjadi liar dan tumpah ruah mengakibatkan Banjir.
Hal Ini telah diingatkan Allah dalam al-Qur’an:
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS.30: 41)
Seringkali kali manusia tidak menyadari hak-hak air. Sebagai contoh, tanah-tanah sebagai tempat tinggal air dibuat tak lagi berpori, wilayah daratan dibuat tak lagi banyak tetumbuhan, hutan yang lebat kini digunduli atas nama kemajuan industri dan pembangunan. Gunung yang hijau dipangkas untuk pembangunan vila, perumahan dan tempat wisata. Sungai-sungai yang menjadi jalan air diperkecil atas nama penataan kota. Sampah-sampah dibuang di sembarang tempat menghalangi kebebasan air.
Ibarat manusia, di saat nalurinya dikekang dan hidupnya terusik, tentu ia akan berontak dan meminta haknya dikembalikan. Demikian pula air, pada saat tempat tinggalnya dirusak dan jalan rayanya disumbat dengan sampah-sampah manusia, maka saat itulah ia memberontak dan melawan meminta hak-nya dikembalika. Dan banjir bandang itu merupakan perlawanan air atas kesewenang-wenangan manusia.
Trilogi Hablun
Dalam menjelaskan tentang keberadaan air, Allah swt sering mengaitkannya dengan tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal ini berulang-ulang. Ini mengandung pelajaran bahwa air dan tanaman memiliki hubungan yang erat dan saling menunjang. Tanaman dan tumbuhan membutuhkan air untuk kelangsungan kehidupannya.
Sebaliknya, air membutuhkan tanaman dan tumbuh-tumbuhan sebagai sebagai “tandon” penyimpan air dan benteng penahan bagi tanah. Pada musim hujan, pohon akan menyerap air dan menyimpannya di batang, ranting, dan daun-daunnya. Nanti saat kemarau tiba, air itu dikeluarkan oleh pohon dalam bentuk sumber mata air yang sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan.
Air hujan yang tercurah dari langit pada musim hujan sebagian besar disimpan dalam perut gunung. Lalu secara bertahap dialirkan dalam bentuk sungai dan kali yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Tumbuh-tumbuhan, dengan akarnya yang menancap jauh ke dalam tanah dapat mengurangi aliran air hujan menuju dataran rendah, sehingga mencegah terjadinya banjir. Demikianlah keseimbangan yang telah diciptakan Allah.
Karena itu, fenomena banjir dan bencana alam ini yang berkali-kali menimpa kita perlu menjadi bahan muhasabah. Manusia harus kembali merenung atas segala sikap dan perlakuannya terhadap lingkungan alam.
Pada titik ini Islam telah mengajarkan kita untuk menjalin hubungan baik terhadap tiga hal: hubungan dengan Allah (hablun min Allah), dengan sesama manusia (hablun min al-nas), dan dengan lingkungan hidup (hablun min al-alam).
“Trilogi hablun” ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya harus berjalan seimbang. Ketidakseimbangan sikap itu akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Karena itu kita tidak boleh hanya bersikap baik kepada salah satunya. Boleh jadi kita hanya sibuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia saja, tetapi kita belum memberi perhatian serius bagaimana hubungan kita dengan alam. Bahwa semua mahluk ciptaan Allah memiliki hak yang sama untuk eksis, hidup dan tumbuh di alam ini sesuai sunnatullah.
Trilogi hubungan baik itu sesungguhnya tercermin dalam banyak ibadah ritual Islam, seperti shalat. Shalat selalu dimulai dengan takbir sebagai symbol pengagungan dan pengakuan atas kemahakuasaan Allah (hablun min Allah). Namun di akhir shalat, kita menoleh ke kanan dan ke kiri sembari mengucapkan salam. Ini symbol bagi manusia agar menyebarkan kedamaian dan keselamatan bagi manusia (ke kanan) dan alam semesta (ke kiri).
Janganlah manusia merasa superior dari mahluk lain. Jangan menganggap bahwa mahluk lain hanyalah obyek yang bisa dieksploitasi. Mahluk lain diciptakan untuk memuaskan hidup manusia dan harus tunduk pada kesewenang-wenangannya. Bila hubungan kita dengan alam seperti ini, maka kehidupan kita pasti akan terus diusik oleh kerusakan alam yang lebih parah. Kita wajib memelihara keseimbangan alam, janganlah membuat kerusakan padanya. Hentikan segala bentuk penebangan pohon dan pengrusakan hutan, lakukan analisis AMDAL secara jujur dan benar, lakukan pengelolaan alam dengan mempertimbangkan keseimbangannya.
Kita ambil pelajaran dari kaum Saba’, kaum yang dihukum Allah karena kekafiran, kemunafikan, dan kezalimannya. Allah mengaruniakan kepada mereka negeri yang subur lagi makmur, dengan tanaman serta tumbuh-tumbuhan yang berbuah melimpah ruah lalu mereka mengingkari Allah, berbuat kerusakan. Allah murka dan menurunkan banjir besar bagi mereka. Kata Allah dalam al-Qur’an: “Maka Kami datangkan kepada mereka banjir besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan kebun yang ditumbuhi pohon yang berbuah pahit”.***