
Oleh: Gitarolis Daud, SHI.,MH
(Direktur : Jejaring Gorontalo Berdaya)
Dheninda Chaerunnisa anggota DPRD Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, menarik perhatian luas saat menerima massa aksi di kantor DPRD setempat dengan ekspresi miring pada mulutnya, Senin (13/10/2025).
Ekspresi itu ditanggapi banyak kalangan, utamanya warganet media sosial, sebagai bentuk sikap tidak menghargai atau mencibir.
Memang, kehadiran legislator termuda di DPRD Gorontalo Utara dalam menerima massa aksi tersebut punya keterkaitan langsung dengan tuntutan para demonstran. Para peserta aksi meminta pertanggungjawabannya atas pernyataan publik yang sebelumnya ia lontarkan. Perempuan yang menjabat Ketua Komisi III DPRD Gorontalo Utara itu pernah menyatakan agar proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Gorontalo Utara harus terbebas dari praktik calo (Perantara).
Konteks Lengkap Pernyataan
Pernyataan Dheninda pada dasarnya bukanlah hal baru dalam konteks rekrutmen tenaga kerja di Indonesia. Lazimnya, instansi pemerintah yang membuka lowongan kerja selalu menyertakan pernyataan resmi bahwa proses seleksi “tanpa dipungut biaya”.
Mereka juga biasanya mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai oknum-oknum yang mengatasnamakan instansi (calo) dengan menjanjikan kelulusan dalam seleksi dengan imbalan sejumlah uang. Yang dilakukan Dheninda adalah menegaskan kembali praktik tersebut sebagai bentuk Early Warning System (sistem peringatan dini), yang secara bersama ditekankan secara proaktif terutama oleh Pemerintah Daerah Gorontalo Utara selaku pemberi kerja dalam perekrutan PPPK.
Terlebih, posisinya sebagai anggota DPRD membawa tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh proses kerja pemerintah daerah, termasuk rekrutmen PPPK, berjalan transparan dan bebas dari penyimpangan.
Oleh karena itu, dalam polemik yang menjeratnya, dapat dipahami bahwa Dheninda tidak sedang menuduh para aktivis sebagai calo. Tindakannya justru perlu dilihat sebagai wujud menjalankan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sebagai wakil rakyat.
Media dan Realitas Terkonstruksi
Dalam dunia yang dipenuhi arus informasi seperti sekarang ini, media massa menjadi sumber informasi sekaligus penguat demokrasi tetapi juga kerap menjadi stimulus konflik, baik secara sadar maupun tidak. Pemberitaan yang bombastis, tendensius, atau mengandung political framing dapat mengkatalisasi persepsi publik dan memicu polemik.
Kekuatan media dalam memproduksi dan mereproduksi citra politik pun tidak dapat dipandang remeh. Hal ini sejalan dengan pendapat Gaye Tuchman dalam “Making News: A Study in the Construction of Reality”, yang menyatakan bahwa seluruh konten media merupakan hasil konstruksi. Tuchman menegaskan bahwa media pada dasarnya menyusun realitas menjadi sebuah narasi.
Dalam konteks video Dheninda yang viral, peran media terbukti signifikan. Media menyoroti gestur atau ekspresi wajahnya dan turut andil membentuk opini publik. Celah kesalahan ekspresi wajahnya itulah yang kemudian dikonstruksi menjadi sebuah narasi “mencibir”.
Pembingkaian media dan konstruksi realitas dalam polemik yang menimpa Dheninda tentu tidak lahir dari ruang hampa. Muncul pertanyaan kritis: siapakah yang pertama kali menentukan agenda pemberitaan hingga video yang menyoroti ekspresinya itu diedit dan disebarluaskan? Jawabannya memang kompleks. Merujuk pada Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam Theories of Human Communication, agenda media ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor. Mulai dari pemrograman internal redaksi, keputusan manajerial dan editorial, hingga pengaruh eksternal seperti tekanan dari sumber non-media. Faktor eksternal ini dapat berupa dukungan iklan, individu yang berpengaruh secara sosial, atau bahkan pejabat pemerintah.
Refleksi dan Harapan
Polemik ini dapat menjadi momentum refleksi bagi Dheninda Chaerunnisa dan untuk kita semua. Peristiwa ini mengajarkan bahwa dalam ruang publik, pesan tidak hanya disampaikan melalui kata-kata, tetapi juga melalui bahasa tubuh. Sebagai publik figur, setiap gestur dan ekspresi berada di bawah pengawasan publik dan dapat ditafsirkan secara multidimensi. Keduanya, baik komunikasi verbal maupun nonverbal harus dikelola dengan kesadaran penuh karena berdampak pada kredibilitas politik dan penerimaan publik.
Sebagai politisi muda 22 tahun, Dheninda merupakan representasi harapan di tengah skeptisisme tokoh senior terhadap peran pemuda dan perempuan dalam politik. Niat tulusnya memperjuangkan konstituen dalam memperoleh pekerjaan patut diapresiasi sebagai tren yang baik, terutama dalam mendorong transparansi birokrasi, meski pengalaman politiknya masih perlu terus ditempa dalam membaca dinamika sosial dan berdiplomasi dengan berbagai kepentingan.
Di bulan kelahiran Sumpah Pemuda ini, sudah selayaknya kita merefleksikan kembali semangat juang pemuda dalam membangun negeri. Sejarah membuktikan bahwa pemuda kerap menjadi motor perubahan dengan energi kritis dan ide-ide segarnya. Alih-alih meruntuhkan mental anak muda, layak diberi kesempatan untuk bertumpuh bagi Dheninda Chaerunnisa untuk menjadi politisi muda yang lebih baik di Bumi Gorontalo, khususnya Gorontalo Utara.
Proses pembelajaran dalam demokrasi membutuhkan kedewasaan kolektif untuk membedakan antara kesalahan teknis insidental dan integritas substantif, karena itu kebenaran subtantif dan semangat perjuangan yang tulus tidak boleh dikaburkan atau diabaikan hanya karena kekeliruan semata.
Demokrasi akan terus berjalan dengan dinamika yang selalu tidak sempurna, tetapi dari ketidaksempurnaan itu, jangan sampai kita kehilangan keadilan perspektif, kita belajar dan memperbaiki, mari bersikap adil bukan hanya dalam menilai hal – hal yang sifatnya simbolik tetapi dalam integritas dan perjuangan yang subtantif termasuk memberi ruang bagi setiap politisi muda untuk tumbuh bersama rakyat yang mereka wakili.(*)





















