
NEWSNESIA.ID, JAKARTA – Hasil Mubes VIII di Gedung Senayan Jakarta, masih menyisakan persoalan. Sejumlah peserta menyebut agenda itu terindikasi syarat kecurangan. Dan hingga saat ini gelombang mosi tidak percaya masih mengalir.
Menurut Laksamana Prn.TNI. A.R. Katili, jika disimak, Mubes VIII (29/11/2020) yang dilaksanakan di Gedung Nusantara V MPR RI, sepertinya biasa saja, sebagaimana Mubes sebelumnya. Namun, menimbulkan persoalan.
Dia menuturkan, kronologis Mubes tersebut. Pertama, Saat persidangan dipimpin oleh pimpinan sidang sementara, mereka meminta persetujuan peserta, untuk langsung bisa menetapkan nama-nama pimpinan sidang yang telah disiapkan sebelumnya, tanpa melalui mekanisme pengusulan oleh peserta mubes.
“Di sini terjadi perdebatan panjang, karena ada mekanisme yang rancu. Pimpinan sidang cenderung memaksakan dan langsung menetapkan nama-nama pimpinan sidang yang telah disiapkan itu, meskipun diprotes secara bertubi-tubi oleh peserta. Ini adalah kerancuan sidang pertama, yang mulai dianggap panitia tidak netral,” jelasnya.
Kedua, lanjut A.R. Katili, ketika sidang masih dipimpin oleh pimpinan sidang sementara, agenda acara dibahas, akan tetapi untuk tata-tertib tidak dibuka ruang pembahasannya, dan langsung ditetapkan oleh pimpinan sidang.
“Ketiga, memasuki agenda pemilihan sidang definitif, tidak dibahas komposisi pimpinan sidang. Tetapi, pimpinan sidang sementara, langsung membacakan nama-nama calon pimpinan sidang definitif yang sudah ditetapkan lebih dulu, tanpa mekanisme pengusulan nama-nama calon pimpinan sidang oleh peserta Mubes,” ujar A.R. Katili.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, poin keempat, sidang berjalan terus, hingga pelaksanaan sidang-sidang komisi. Komisi A tentang organisasi, Komisi B tentang Program Kerja dan Komisi C tentang rekomedasi organisasi. Salah satu pembahasan penting di Komisi A adalah pembahasan ADART hasil revisi. Draft revisi ADART telah dibahas melalui Webinar Zoom.
“Webinar ini yang kemudian dinyatakan sebagai Rapat Pleno Diperluas (RPD). Pengambilan keputusan kerkait revisi draft ADART ini dinilai lemah, karena dilakukan melalui Webinar Zoom yang tidak memenuhi quorum,” paparnya lagi.
Kelima, menurut A.R. Katili, pembahasan hasil sidang komisi, maka ADART hasil Komisi A diputuskan dan diterima peserta mubes. Setelah itu, dengan diterimanya laporan pertanggung-jawaban pengurus lama, maka dengan demikian pengurus lama dinyatakan demisioner.
“Keenam, sebelum visi-misi para calon, seharusnya pimpinan sidang menyampaikan secara terbuka perolehan jumlah usulan suara dari pilar yang mengusulkan calon, dan kemudian ditetapkan oleh pimpinan sidang, untuk diteruskan ke Bantayo untuk dipilih sesuai urutan usulan suara terbanyak. Tapi faktanya, pimpinan sidang tidak melaksanakan tahap ini,” bebernya lagi.
Menariknya, kata A.R. Katili, mulai dari point pertama sampai dengan keenam, aturan main pelaksanaan mubes VIII mengacu pada ADART yang baru ditetapkan tersebut. Di sisi inilah kerancuan mekanisme pelaksanaan mubes dimaksud.
Seharusnya, masih kata A.R. Katili, ADART yang lama tetap digunakan sebagai panduan pelaksanaan mubes dari point satu sampai dengan lima. Sedangkan ADART yang baru ditetapkan (pada point lima), baru bisa digunakan untuk Pengurus Lamahu yang baru dan Mubes IX yang akan datang.
“Hingga di sini, dapat dimengerti bahwa gelombang mosi tidak percaya atas hasil Mubes VIII terutama disebabkan oleh tindakan panitia “memaksakan” pemberlakuan rancangan ADART yang baru (hasil revisi pada pleno diperluas zoom miting), sehingga disini problem tahapan persodanhan yang dimulai sejak dari awal persidangan sampai akhir persidangan,” tandasnya.(im-NN)