
KlikSulteng.id – Bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi dengan jeda waktu yang berdekatan, di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), mengharuskan standar operasional prosedur (SOP) soal mitigasi bencana perlu ditinjau ulang.
Menurut berita , bencana alam yang terjadi 28 September 2018 silam, memberikan pelajaran besar bukan saja bagi masyarakat Palu, tapi juga Indonesia bahkan Dunia, bahwa SOP mitigasi bencana kala itu tidak berlaku.
Dulu, dianjurkan kalau gempa bumi harus berlindung di bawah meja atau lari ke lapangan terbuka. Tapi kala itu, gempa bumi langsung diikuti dengan tanah terbelah, mau di dalam rumah maupun lapangan terbuka tetap korban tak terhindarkan. Lihat saja, likuifaksi yang terjadi di Balaroa , Petobo dan Jono oge.
Begitu juga dengan Tsunami. Secara teori tsunami itu akan terjadi setelah 10 sampai 15 menit setelah gempa. Yang terjadi kala itu, setelah gempa dahsyat, 2 menit kemudian langsung tsunami.
“tidak ada jeda untuk menyelamatkan diri. Melalui kejadian tersebut diharapkan perlu ada Mitigasi Bencana baru untuk disampaikan kepada masyarakat,” kata Gubernur Longki Djanggola, saat Live program Kentongan di RRI, Minggu (1/9/2018).
Kendati demikian, dalam kesempatan iti juga, Gubernur Longki Djanggola meminta masyarakat agar tidak saling menyalahkan, karena bencana alam pada dasarnya adalah takdir dari yang maha kuasa.
“Pemerintah Daerah akan terus berusaha untuk melakukan pemulihan kondisi masyarakat terdampak bencana yakinlah Pemerintah akan terus hadir ditengah tengah masyarakat,” imbuhnya lagi.
Pernyataan gubernur itu diperkuat Dr. Abdullah, MT, pakar kebencanaan Universitas Tadulako. Menurutnya peristiwa kelam di 28 November silam, bisa menjadi perhatian serius pemerintah dalam merumuskan SOP mitigasi bencana di Sulawesi Tengah.
Begitu juga Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Pemprov Sulteng, Elim Somba yang mengatakan, selain SOP perlu juga dikembangkan alat tradisional sebagai peringatan dini bencana seperti yang di gagas oleh RRI saat ini. (hl/kst)