NewsNesia.id -(NN)– Pasca diterimanya permohonan PSBB Provinsi Gorontalo. Berbagai spekulasi bermunculan. Mulai dari ungkapan rasa syukur bagi yang betul-betul berharap wabah corona segera berlalu. Di saat yang sama, muka “kecut” bagi yang tergolong kaum OTP. Manusia yang suka berlindung dalam anasir-anasir pro rakyat miskin. Tanpa sadar bahwa PSBB itu untuk kemaslahatan bersama. Nan keberhasilan PSBB ditentukan oleh kita semua. Artinya, bila berhasil memutus rantai corona, si abang bentor bisa kembali mencari nafkah.
Ruang-ruang perdebatan makin membuncah. Kala pemerintah daerah mempersiapkan draf Peraturan Gubernur (Pergub) Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Apakah masyarakat akan diwajibkan dan pemerintahnya hanya menggunakan frasa “dapat” dalam melakukan pemenuhan hak-hak rakyat selama PSBB ? Apakah PSBB akan mengatur sanksi pidana ? Bagi penulis, pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar. Bila kita melihat pelaksanaan PSBB di beberapa daerah di Indonesia.
Poin Penting
Penulis melihat, ada beberapa poin penting yang harus publik ketahui. Karena bila telah berlaku, masyarakat tida bisa berlindung dari alasan ketidaktahuannya. Sebagaimana dalam asas fiksi hukum bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, makapada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignoratia jurist non excusat).
Pertama, pembatasan dalam PSBB. Bila kita sudah membaca Pergub Pedoman Pembatasan PSBB maka sebenarnya kita sudah menjalani beberapa jenis kegiatan yang dibatasi. Misalnya kegiatan belajar di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Termasuk menerapkan pola perilaku hidup bersih dan sehat. Adapun pembatasan yang baru hanya terkait kegiatan orang masuk wilayah Provinsi Gorontalo, pembatasan pergerakan menggunakan moda transportasi serta pengaturan jam beraktivitas bagi yang dikecualikan di tempat atau fasilitas umum.
Kedua, hak dan kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan dasar penduduk selama PSBB. Poin ini sangatlah penting karena sangat berdampak langsung terhadap kebijakan PSBB Provinsi Gorontalo. Kecemasan akan frasa “dapat” dalam pemenuhan hak-hak warga masyarakat terjawab dalam Pergub PSBB. Termaktub dalam Pasal 26 ayat 1 menyatakan “Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota WAJIB memberikan bantuan langsung pangan daerah dan/ atau bantuan lainnya kepada penduduk rentan yang terdampak dalam memenuhi kebutuhan pokoknya selama pelaksanaan PSBB”.
Justru menarik dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga masyarakat selama PSBB, yang diatur dalam Pergub Gorontalo sangatlah humanis. Mengapa demikian, karena bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 19 (COVID-19) dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 19 (COVID-19) tidak ada satu pun klausul pasal yang mewajibkan atau memberikan tanggungjawab kepada Pemerintah Daerah memenuhi kebutuhan warga masyarakat selama PSBB. Berbeda dengan pelaksanaan Karantina Wilayah.
Selama dalam karantina wilayah kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait (Vide: Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan).
Olehnya tidak berlebihan bila, Penulis menyebutnya Pergub PSBB yang Humanis nan responsif. Mengandung faham humanis karena sangat berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan atau pri-kemanusiaan. Di lain sisi bersifat responsif sebagaimana Tipe Hukum yang diperkenalkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Bahwa dalam prespektif hukum responsif, hukum yang baik adalah hukum yang memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil. Ia seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.
Pidana bersifat Ultimum Remedium
Poin terakhirnya adalah pengaturan sanksi pidana. Wacana yang berhembus deras di ruang publik, yang bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang sudah mengambil mata kuliah Peraturan Perundang-Undangan, tentu sangat santai menanggapinya. Karena sudah paham bahwa pada prinsipnya Peraturan Gubernur haram hukumnya mengatur sanksi pidana. Jelas dalam Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan “materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Artinya bahwa sudah tepat bila Pergub PSBB Gorontalo tidak mengatur ketentuan pidana seperti kurungan atau denda bagi si pelanggar.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan pelanggar PSBB yang dipidana seperti di Pekanbaru? Jawabannya karena PSBB sebagai salah satu jenis Kekarantinaan Kesehatan tunduk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Dimana UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur ketentuan pidana. Hanya saja dalam kondisi yang seperti ini, kita tentu berharap penegakan hukum untuk menganut prinsip pidana sebagai Ultimum Remedium. Ia merupakan senjata pamungkas atau sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Sebab pidana atau hukum pidana modern menganut postulat Le salu du people est la supreme yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. (**)
Penulis : Jupri, SH. MH, Dosen Hukum Universitas Ichsan Gorontalo.
(Artikel ini sebelumnya sudah terbit di Hulondalo.id)