
Menghadirkan TKA di Tengah Ingatan Akan Ujian Nasional
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dunia pendidikan Indonesia kembali disibukkan
dengan kehadiran sebuah kebijakan baru: Tes Kemampuan Akademik (TKA). Kehadiran TKA
seolah membangkitkan kembali memori lama yang melekat erat di benak masyarakat, yakni
Ujian Nasional (UN). Banyak pihak langsung membandingkan keduanya, menanyakan
apakah TKA adalah wujud baru dari sistem evaluasi lama yang pernah menimbulkan
tekanan besar bagi siswa.
Sebagaimana kita ketahui, UN dahulu begitu dominan dan menentukan. Kelulusan siswa
secara mutlak ditentukan oleh hasil ujian tersebut, sehingga muncul ketegangan luar biasa
menjelang pelaksanaannya. Meski kini telah digantikan oleh asesmen nasional dan
penilaian yang lebih fleksibel seperti penilaian harian, trauma kolektif akan UN belum benarbenar sirna. Ketika TKA hadir, wajar bila masyarakat bereaksi dengan penuh pertanyaan dan kekhawatiran.
Tak sedikit masyarakat yang mencemaskan bahwa TKA akan mengembalikan beban
akademik berat kepada siswa. Kekhawatiran itu muncul dari asumsi bahwa TKA akan
menjadi sistem evaluasi utama, bahkan menjadi syarat kelulusan sebagaimana UN dulu.
TKA dikhawatirkan menjadi batu uji tunggal yang mendikte nasib siswa, terlepas dari proses
panjang yang mereka tempuh dalam pembelajaran di sekolah.
Namun jika ditelusuri lebih cermat melalui Peraturan Mendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025,
posisi TKA sebenarnya tidak seseram bayangan publik. Dalam peraturan tersebut, jelas
disebutkan bahwa TKA “dapat menjadi” salah satu syarat dalam proses seleksi penerimaan
siswa atau mahasiswa baru. Frasa “dapat menjadi” mengindikasikan bahwa TKA tidak
bersifat wajib apalagi mutlak, melainkan hanya sebagai opsi tambahan yang bisa dipakai
oleh lembaga pendidikan.
Dengan demikian, TKA bukan pengganti evaluasi lokal yang sudah berjalan, melainkan
pelengkap. Ia menjadi alat bantu untuk mengukur capaian belajar secara nasional,
membantu memberikan gambaran standar, namun tidak dimaksudkan untuk menjadi satu-
satunya penentu. Guru dan sekolah tetap memiliki wewenang utama dalam mengevaluasi
dan menentukan kelulusan siswa melalui ujian sekolah dan proses pembelajaran harian.
Pentingnya Standarisasi dalam Sistem Evaluasi
Perkembangan sistem evaluasi di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari semangat
untuk mencari keseimbangan antara kualitas, pemerataan, dan keadilan pendidikan. Dalam
konteks ini, kehadiran TKA sesungguhnya merupakan upaya untuk membantu menyusun
peta kemampuan siswa secara nasional dengan alat ukur yang seragam.
Namun satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa evaluasi pendidikan tidak sematamata tentang angka dan nilai akademik. Evaluasi yang baik adalah yang menyentuh dimensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang. Maka dari itu, TKA tidak bisa dianggap
sebagai satu-satunya tolak ukur, tetapi sebagai alat bantu pelengkap yang memberikan
informasi lebih luas bagi guru dan pemangku kebijakan.
Melalui standar tertentu yang dihadirkan TKA, guru dan sekolah dapat memperoleh
gambaran tentang posisi capaian siswa di tingkat nasional. Hal ini tidak berarti
menghilangkan penilaian lokal atau pendekatan kontekstual yang selama ini digunakan di
sekolah, melainkan membantu memperkaya data untuk pengambilan keputusan yang lebih
holistik.
Ketika TKA diposisikan secara proporsional, maka ia tidak menjadi momok seperti UN
dahulu. Ia justru bisa menjadi alat bantu reflektif bagi guru dan sekolah dalam merancang
strategi pembelajaran. TKA memberikan gambaran yang lebih terukur mengenai kekuatan
dan kelemahan siswa, sehingga proses belajar bisa disesuaikan secara lebih tepat sasaran.
Yang perlu ditekankan adalah bahwa penilaian akhir siswa tetap berada di tangan sekolah,
bukan ditentukan oleh hasil TKA. Guru masih menjadi pihak yang paling memahami siswa,
baik secara kemampuan akademik maupun perkembangan karakter mereka.
Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa TKA akan menggusur otonomi sekolah tidak sepenuhnya berdasar jika kita merujuk pada aturan yang berlaku.
Mendorong Evaluasi yang Lebih Manusiawi dan Berkualitas
Pada akhirnya, evaluasi pendidikan mestinya tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga
pada proses belajar yang mendidik dan bermakna. Dengan menyusun sistem evaluasi yang memperhitungkan aspek sosial, psikologis, dan kemampuan individual siswa, TKA bisa
menjadi bagian dari pendekatan evaluatif yang lebih komprehensif.
Harapannya, kebijakan ini benar-benar menjadi bagian dari perbaikan mutu pendidikan
nasional, bukan sekadar rebranding dari sistem lama. Sistem evaluasi yang baik adalah
sistem yang menumbuhkan motivasi, bukan tekanan. Ia mendorong kejujuran, bukan
ketakutan. Ia mengarahkan siswa untuk tumbuh, bukan membuat mereka merasa terperangkap.
Semoga kehadiran TKA benar-benar membawa perubahan positif yang menguatkan sistem
pendidikan, bukan membebaninya. Jika diterapkan dengan bijak, TKA bisa menjadi alat ukur yang adil dan bermanfaat bukan sekadar formalitas atau ancaman, tetapi sebuah langkah
maju menuju pendidikan yang lebih berkualitas dan berkeadilan.(*)
Penulis:
Muhammad Isa Anshori, S.Pd., M.Pd
Peneliti di Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (Pundi)