
Oleh: Abdul Rajak Babuntai
(Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta)
Tulisan Basri Amin yang dimuat di Gorontalo Post.id pada 3 Maret 2025, berjudul “Jaringan Islam Nusantara dan Jejak Literatur Gorontalo” berhasil menarik perhatian dengan mengungkapkan peran penting Islam dalam sejarah dan budaya Gorontalo, yang belakangan ini kurang mendapatkan perhatian yang memadai di kalangan akademisi. Dalam tulisan tersebut, Basri Amin mengutip karya Prof. S.R. Nur (1996) yang membahas khutbah Jum’at Raja Eyato pada tahun 1674, yang sekaligus menjadi tonggak lahirnya falsafah “adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah” di Gorontalo. Falsafah ini tidak hanya menjadi bagian integral dari identitas daerah Gorontalo, tetapi juga masih terasa pengaruhnya hingga saat ini.
Raja Eyato, sebagaimana digambarkan oleh Prof. S.R. Nur, merupakan sosok teladan dalam kekuasaan Islam. Di tengah ketegangan global dan tekanan Eropa, Eyato menegaskan prinsip independensinya. Ia menolak menerima hadiah dari kalangan Eropa dan tetap memilih memakai pakaian serta sarung tenunan Gorontalo, yang sekaligus menjadi simbol kebanggaan terhadap budaya lokal. Ia juga dikenal dengan kesukaannya mengenakan upiya karanji, pakaian tradisional Gorontalo, yang semakin mengukuhkan citra sebagai pemimpin yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan budaya lokal.
Lebih dari itu, Raja Eyato adalah pemimpin yang meninggalkan warisan hukum dan kebijakan yang mengagumkan bagi masyarakat Gorontalo. Seperti yang ditulis oleh Richard Tacco, Eyato mampu menciptakan undang-undang dan memimpin dengan prinsip-prinsip demokrasi yang progresif di masa pemerintahannya (1673-1679). Hal ini sangat mengesankan, mengingat pada masa yang sama, Inggris masih menganut sistem monarki absolut. Gorontalo, di bawah kepemimpinan Eyato, telah lebih dulu menerapkan konsep pemerintahan yang mengutamakan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan atau yang disebut Eyato sebagai “Datahu lo hundu huidu” (Nur,1979). di mana rakyat yang berkuasa tetapi pelaksanaan kuasa itu pada ulil amri dengan sifat terbatas dan tidak sewenang-wenang. Ini adalah sebuah pencapaian luar biasa di tengah-tengah sistem politik yang berkembang di dunia pada masa itu.
Selain itu, kekuasaan Eyato juga terbukti dalam keberlanjutan tradisi adat yang diwariskannya. Salah satu contohnya adalah Pohutu, sebuah tata upacara adat yang masih dilaksanakan di Gorontalo hingga kini. Pohutu ini dilaksanakan pada berbagai acara penting seperti hari-hari besar Islam, perkawinan, penobatan, dan kedukaan. Meskipun pelaksanaan pohutu saat ini mungkin tidak sekuat dulu dalam hal sanksi sosial dan hukum terhadap pelanggaran, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Gorontalo.
Kepemimpinan Raja Eyato menunjukkan bagaimana sebuah kekuasaan dapat bersinergi dengan nilai-nilai agama dan budaya lokal untuk menciptakan tatanan yang adil dan berkelanjutan. Di tengah gempuran perubahan zaman, memori dan warisan kebijakan Raja Eyato tetap hidup, menginspirasi generasi sekarang untuk menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya menghargai akar budaya dan prinsip-prinsip keislaman dalam menghadapi tantangan zaman.
Moloopu dan Mopotilolo: Panggilan Moral Bagi Pemimpin
Salah satu warisan paling signifikan dari Raja Eyato yang masih hidup hingga kini adalah upacara adat Moloopu dan Mopotilolo, yang dilakukan setiap kali ada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilantik oleh Presiden atau yang mewakilinya. Upacara adat ini memiliki makna yang sangat dalam, yakni menegaskan bahwa meskipun para pejabat telah memperoleh keabsahan dari pemerintah pusat, mereka belum dapat memerintah secara sah di wilayah adat Gorontalo sebelum melalui prosesi Moloopu dan Mopotilolo. Upacara ini juga menggambarkan bagaimana tradisi lokal menekankan keseimbangan antara kekuasaan formal yang diakui negara dan kearifan lokal yang terkandung dalam budaya masyarakat.
Namun, yang seringkali terlupakan adalah esensi dari pesan-pesan yang terkandung dalam tudja’i (ucapan yang disampaikan selama upacara adat). Misalnya, ada tudja’i yang berbunyi:
Huta, huta lo ito eya : ,Tanah, tanah milikmu tuanku
Taluhu, Taluhu lo itu eya : Air, air milikmu tuanku
Tulu, tulu lo itu eya : Api, api milikmu tuanku
Dupoto, dupoto lo ito eya : Angin, angin milikmu tuanku
Bo ito eya diya poluli hilawo eyanggu : tetapi jangan sewenang-wenang tuanku
Pesan ini mengingatkan para pemimpin bahwa mereka harus menjaga amanah tanah dan sumber daya alam, bukan untuk diserahkan begitu saja kepada pihak-pihak luar demi kepentingan pribadi atau segelintir orang. Akan tetapi, sering kali setelah upacara tersebut, kita menyaksikan pemberian konsesi lahan yang besar kepada perusahaan tanpa melibatkan persetujuan rakyat, yang berujung pada konflik agraria. Hal ini menunjukkan bahwa meski pesan moral tersebut jelas, masih banyak pemimpin yang tidak mengindahkan dan melanggarnya. Demikian pula dengan pesan yang ada dalam tudja’i berikut ini:
Ito diya pomilaya, : Teman tuan jangan terlalu dipercaya
Data taalinaya : Sebab banyak yang aniaya
Daa poodahawaa : Tuan memerintah harus waspada
Tinepo ta to tibawa : Pikirkanlah rakyat jelata
Pesan ini menegaskan bahwa, sebagai pemimpin, perhatian utama harus diberikan kepada rakyat jelata, bukan teman-teman yang terkadang justru membawa kemalangan bagi pemimpin itu sendiri. Jika pesan-pesan ini benar-benar dihayati dan dijalankan dengan sepenuh hati, maka kekuasaan yang diemban oleh seorang pemimpin tak akan membawa bencana, melainkan akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut Raja Eyato, kekuasaan adalah amanah untuk membantu Tuhan dan Nabi (Moiyo to Allah, Wawu Mani Mursala, Lo owali u sagala) dalam menjalankan tugas mulia bagi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana yang diyakini oleh Eyato, seorang pemimpin harus mencerminkan sifat Tuhan yang pengasih dan penyayang serta meneladani perilaku Nabi Muhammad yang selalu memberikan contoh budi pekerti yang agung. Dengan demikian, upacara adat Moloopu dan Mopotilolo seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai seremoni belaka, tetapi juga menjadi panggilan moral bagi para pemimpin untuk terus memperbaiki diri, menjaga integritas, dan bekerja demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Puasa dan Kuasa: Menahan Diri dalam Memimpin
Puasa, dalam pengertian bahasa Arab, berarti shaum atau shiyam, yang secara harfiah berarti menahan diri. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, puasa mengajarkan kita untuk tahu diri dan mengenal batas dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat. Sebagai daerah mayoritas Muslim, Gorontalo memiliki kewajiban menjalankan ibadah puasa, yang tidak hanya menjadi sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan individu, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat kolektif, terutama bagi para pemimpin daerah.
Yudi Latif, dalam tulisannya di Harian Kompas pada 4 Maret 2025 yang berjudul “Puasa kuasa tuna rasa berdosa”, menggambarkan hubungan antara pemimpin dan puasa dengan sangat dalam. Ia menyatakan bahwa seperti kemampuan menahan lapar dan haus, seorang pemimpin pun harus memiliki ketahanan dalam membentengi diri dari godaan kemewahan yang membutakan dan ambisi yang mengikis rasa empati. Dalam perihnya perut yang kosong, ada pesan yang mendalam: bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang paling lantang berbicara, melainkan yang paling takut untuk membohongi dan menyengsarakan rakyatnya. Rasa malu menjaga mereka dari kesombongan, mengingatkan bahwa di balik jabatan ada tanggung jawab, dan di balik kehormatan ada pengorbanan.
Pesan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tudja’i Gorontalo yang berbunyi:
“Wonu ma la’i da’a, dila bolo polanggamu” (Kalau sudah besar, jangan memperkosa),
“Wonu Motota, dila pongakali” (Kalau sudah cerdik, jangan menipu).
Pesan ini mengingatkan bahwa seorang pemimpin yang bijaksana adalah yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi, tetapi juga menjaga marwah dan kehormatan rakyat yang dipimpinnya. Ketika kekuasaan disertai dengan nilai-nilai luhur, maka bukan harta dan takhta yang menjadi tujuan, melainkan kebaikan, kehormatan, dan keberlanjutan kesejahteraan bagi rakyat.
Pada akhirnya, yang diharapkan dari kepemimpinan yang syarat akan nilai-nilai luhur yang kita lihat dari momen prosesi adat moloopu dan mopotilolo bukanlah harta dan takhta, melainkan kebaikan dan kehormatan. Dalam tradisi Gorontalo, mereka pemimpin yang disambut dengan baik melalui prosesi adat moloopu, akan diantar pulang dengan baik juga dengan baik lewat proses adat mopotulungo. Moga-moga bukan berakhir dengan mongulungo.(*)