Oleh: Hanifah Rasyida
Baru-baru ini Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana menghargai hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Sigi terbaru menyebut kepuasan publik terhadap Jokowi menjelang akhir masa jabatannya mencapai 75 persen.
Yusuf mengatakan tingkat kepuasan yang tinggi ini merupakan bukti bahwa upaya keras pemerintah dalam berbagai bidang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Misalnya soal infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga penanganan pandemi, dan pemulihan ekonomi. (Dilansir dari tempo.co).
Jika kita melihat pernyataan di atas akan menyimpulkan bahwa Pemerintah dinilai berkinerja baik dalam mengurus rakyat. Namun nyatanya hasil semua di atas hanyalah pencitraan karena kondisi real penduduk tidaklah demikian karena negara sejatinya masih menghadapi banyak persoalan di tengah masyarakat. Namun pencitraan menutupi semua itu dan mengelabui rakyat. Padahal ada banyak kebijakan yang menunjukkan keberpihakan negara pada oligarki dan bukan kepada rakyatnya sendiri.
Salah satunya dalam bidang ekonomi terkait kenaikan PPN dan kenaikan harga BBM. Sudah menjadi ciri khas sistem demokrasi yang menjalankan ekonomi negara dengan ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu lagi menambah utang, di saat itu pula mengambil kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Katanya demi menciptakan rezim pajak yang adil dan kuat. Begitu kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan keuangan negara yang kian mengkhawatirkan. PPN naik dari 10% menjadi 11 %. Kebijakan ini berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) yang sudah berlaku mulai dari 1 /4/2022 kemarin. Namun pasalnya, jika tarif PPN naik, beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Kondisi saat ini jelas akan berdampak luas bagi ekonomi masyarakat banyak. Inflasi pasti terjadi. Harga-harga barang dan jasa dipastikan terkerek naik.
Kita bisa lihat paling dekat yakni di Gorontalo itu sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo mencatat inflasi pada Maret 2024 sebesar 0,81% secara bulanan. Inflasi dipicu salah satunya kenaikan harga beras. (Dilansir dari detik.com)
Jika dilihat berdasarkan data presentase, terdapat 10 provinsi terpilih harga Gula Pasir Lokal Tertinggi dan Kota Gorontalo menduduki posisi pertama dalam terjadinya tersebut. Harga Gula Pasir Lokal di Gorontalo Rp 23.000 Rupiah per Kg pada Jumat, 9 Agustus 2024 kemarin. Harga gula pasir lokal harian di pasar modern Gorontalo menjadi yang termahal se-Indonesia dengan harga jual Rp 23.000 rupiah per kg. Dibandingkan sebulan lalu, harga gula pasir lokal di provinsi ini lebih tinggi. Sebelumnya tercatat pada angka 12.000 rupiah per kg. (Dilansir dari databoks.katadata.co.id)
Ini semua menunjukkan pemerintah hanya berusaha lepas tangan seraya mengalihkan beban dari pundaknya ke pundak rakyat. Padahal, beban rakyat selama ini sudah sedemikian berat. Apalagi pada situasi pandemi yang dampaknya berkepanjangan.
Paradigma seperti ini tidak lekat dalam benak para penguasa negeri. Menjadi importir justru dipandang lebih nyaman dibanding harus bersusah payah berpikir mencari solusi. Kalaupun berpikir, mereka hanya mau menghitung untung dan rugi. Karenanya, jelas sudah, akar problem mahalnya harga BBM, Pangan dll ini sejatinya terkait dengan soal sistem dan paradigma riayah (pengurusan) umat. Dalam sistem kapitalisme neoliberal saat ini, riba dan liberalisasi adalah penopang ekonomi, sedangkan hubungan negara dengan rakyatnya hanyalah hubungan penjual dengan pembeli.
Paham sekularisme yang mendasarinya jelas tidak mengenal konsep halal/haram dan moral kasih sayang. Tidak heran jika semua aturan yang lahir darinya jadi serba liberal. Muncullah slogan, “Siapa kuat, ia yang menang.” Adapun negara atau penguasa hanya bertindak sebagai wasitnya, atau bahkan bersama para pemodal, menjadi lawan bagi rakyatnya.
Kondisi di atas tentu berbeda jauh dengan Islam. Islam tegak di atas landasan iman dan mengajarkan tentang segala kebaikan. Walhasil, aturan Islam benar-benar menjamin kemaslahatan bagi seluruh alam.
Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Negara juga memiliki apparat yang handal, professional dan tentu saja amanah dan beriman. Aparat seperti ini adalah buah dari penerapan sistem Pendidikan berdasarkan aqidah islam dan sistem lainnya yang juga berdasarkan Islam.
Adapun Islam melarang pencitraan dan menjunjung tinggi kejujuran. Adanya pertanggungjawaban kepada Allah menjadikan penunaian semua amanah dengan sebaik- baiknya dan secara professional dan kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama. Tugas pemimpin atau negara adalah mewujudkannya dengan sempurna. Tidak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Juga kebutuhan atas sumber-sumber energi untuk memenuhi bekal hidup sehari-hari.
Selain itu, Islam menetapkan sumber-sumber energi tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing, mulai hulu hingga hilir. Negara sebagai wakil umat diwajibkan mengelolanya dengan baik dan memberikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki secara mudah dan murah, bahkan gratis.
Semua itu tentu ditopang dengan sistem-sistem aturan Islam yang lain, terutama sistem pemerintahan Islam yang berdaulat dan mandiri, terbebas dari intervensi asing. Juga oleh sistem ekonomi yang antiriba dan berkeadilan, serta sistem keuangan Islam (baitulmal) yang kukuh dan stabil.
Oleh karenanya, umat Islam harus segera mencampakkan sistem rusak ini dan kembali menerapkan sistem hidup yang berasal dari Islam. Caranya dimulai dari proses pengukuhan aspek akidah sekaligus penyadaran tentang komprehensivitas syariat Islam dalam menyolusi seluruh problem kehidupan agar rakyat benar-benar bisa merasakan yang namanya sejahtera. Wallahualam bissawab.(*)