
Oleh: Rostia Mile/ Penulis adalah Aktivis Dakwah Kampus
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan, ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia. Hal ini ia sampaikan saat memberikan orasi ilmiah dalam acara Wisuda Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai secara virtual, Sabtu (6/1/2024). “Kenapa di Indonesia itu terjadi kemunduran di banyak hal, misalnya investasi tidak maksimal, pembangunan ekonomi tidak maksimal, karena salah satunya itu di Indonesia terlalu banyak ketidakpastian hukum,” kata Mahfud, Sabtu, dikutip dari YouTube UnivPahlawan.
Bahkan Mahfud mencontohkan, saat ini banyak pengusaha yang harus melalui prosedur bertele-tele untuk mengantongi izin usaha, bahkan terdapat praktik suap-menyuap agar mendapatkan izin usaha atau berinvestasi. Praktik suap tersebut, kata Mahfud, menimbulkan ketidakpastian karena pejabat bisa saja memberikan izin kepada orang lain untuk objek dan tempat yang sudah diberikan izin kepada orang lain lagi.
Hukum Yang Mudah Tergoyahkan
Tegaknya hukum karena berbagai faktor, baik kekuatan lembaga peradilan, sumber daya manusia (SDM) maupun kekuatan hukum itu sendiri. Termasuk di dalammnya adalah penentuan model konsep bernegera dan sistem hukum yang berlaku. Namun berbeda, kenyataannya hari ini banyak fakta yang menunjukkan adanya lembaga peradilan dapat dengan mudah menerima berbagai sogokan, bahkan SDM pun mudah melakukan keculasan. Di sisi lain, undang-undang (UU) buatan manusia atau oleh individu yang tidak memiliki kapabilitas justru membuka peluang ketidakpastian hukum dan munculnya kebutuhan akan aturan baru yang pro terhadap para oligarki.
Kebijakan pemerintahan demokrasi realitasnya lebih banyak mengabaikan aspirasi rakyat. Sebagaimana pernyataan oleh Prof. Mahfud, pada acara sosialisasi pendidikan politik masyarakat bertemakan “Capaian dan Catatan tentang Demokrasi dan Pemilu Sebagai Agenda Reformasi”, yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Solok Padang, di Gedung Pertemuan Kubung 13, Jumat (08/02). Dimana beliau mengatakan “kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum,” karena secara umum pasca reformasi, demokrasi bukan bertambah baik. Tak mengherankan kemudian banyak orang yang marah kepada demokrasi yang sedang berlangsung. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berkembang cenderung liberal, karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat.
Bukan hanya itu Prof. Mahfud juga mengatakan, demokrasi prosedural seperti sekarang ini justru membuat pemilu dilaksanakan sebagai rutinitas demokrasi belaka. Faktanya, pemilu diselenggarakan bukannya semakin meningkat kualitas demokrasi, tetapi justru semakin memilukan, dimana pemilu diramaikan oleh perilaku-perilaku yang mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang, suap menyuap, cedera janji, dan kecurangan seolah terjadi biasa dalam tahapan pemilu. Demokrasi disepanjang era reformasi masih bersifat prosedural, belum substansial. Pemilu dilaksanakan belum dilakukan secara luber dan jurdil sehingga belum menghasilkan wakil rakyat atau pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Oleh karenanya, Prof. Mahfud mengatakan bahwa demokrasi belum mampu membentuk pemerintahan yang mampu mensejahterakan rakyat.
Dari hal ini kita bisa melihat bahwa posisi rakyat tidak lebih sekadar hanya untuk mengisi suara dalam memenangkan mereka yang berkompetisi. Bahkan demokrasi diklaim sebagai pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Memang, dalam pemilu rakyat memilih secara bebas. Akan tetapi, calon kepala daerah atau legislatif yang berkompetisi sebenarnya bukanlah murni pilihan rakyat, melainkan pilihan parpol. Mereka mengklaim mewakili suara rakyat, faktanya mereka mewakili parpol yang menjadi kendaraan politiknya.
Ketika demokrasi menjunjung tinggi empat pilar kebebasan, yaitu beragama, berpendapat, kepemilikan, dan bertingkah laku. Realitasnya, empat pilar kebebasan ini memunculkan masalah lainnya. Kebebasan beragama memicu lahirnya para penista agama, mengembuskan keraguan terhadap agama, dan meremehkan agama dengan bergonta-ganti agama. Demokrasi lahir dari sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang berimbas pada pemisahan agama dari negara, menyebabkan sistem kehidupan berjalan sangat jauh dari aturan Islam. Generasi makin tidak kenal agama, moralnya rusak, seks bebas merajalela, bahkan perilaku menyimpang semisal elgebete kian mengkhawatirkan. Semuanya terjadi akibat penerapan kehidupan sekuler liberal yang begitu mendewakan kebebasan.
Dan ini satu keniscayaan dalam sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, sehingga mudah untuk membuat hukum, mengubah hukum, dan merevisi sebuah hukum. Akibatnya membuka berbagai peluang ketidakpastian suatu hukum yang konsekuensinya menuntut kebutuhan aturan baru. Hukum akhirnya bersifat dinamis yang mengikuti zaman dan mengikuti kepentingan manusia, yakni para oligarki. Dari adanya ketimpangan hukum dan dampak buruknya, ummat harusnya berpikir realita tersebut adalah bukti bahwa hukum buatan manusia yakni demokrasi tidak akan pernah berhasil untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Karena manusia itu lemah dan akalnya terbatas, sekalipun mereka berserikat membuat kesepakatan tertentu tetap saja tidak akan pernah membawa kebaikan dan hanya akan adanya perpecahan.
Harus Adanya Kepastian Dalam Suatu Hukum
Umat harusnya sadar bahwa hanya Allah yang mampu menjadi sebagai al-khaliq dan al-mudabbir (pencipta dan pengatur), serta menetapkan suatu hukum. Sebagaimana di dalam Islam penetapan suatu sumber hukum adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena di dalam Islam hukum bersifat tetap. Sehingga untuk mewujudkan suatu keadilan harus adanya pemimpin yang tegas dan bertakwa, yang menjadikan hukum akan tegak tanpa terkecuali. Sebagaimana Islam bukan hanya sekadar agama ritual yang mengatur aspek ibadah saja. Akan tetapi Islam adalah sistem kehidupan yang memiliki seperangkat aturan yang terperinci. Perbedaan Islam dan demokrasi yang sangat kontras ialah kedaulatan di tangan syarak.
Dalam pandangan Islam, hanya Allah Swt. yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun sekadar satu. Sebagaimana Allah Swt. Berfirman dalam (QS Al-An’am : 57), “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”. Sementara itu, makna “kekuasaan ada di tangan umat” adalah umat berhak memilih penguasa agar dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas hamba-Nya. Penguasa hanyalah pelaksana syariat Islam. Dalam Islam, seorang muslim wajib terikat dengan aturan-Nya. Tidak ada kebebasan mutlak bagi manusia untuk mengatur kehidupan sesuka hatinya. Inilah kontradiksi Islam dan demokrasi.
Umat harus memahami perubahan tidak akan terjadi dalam sistem demokrasi. Berharap perubahan pada demokrasi ibarat sebuah ilusi ketidakpastian. Berganti banyak model dan sosok pemimpin nyatanya tidak membawa perubahan. Yang berganti hanya orangnya, bukan sistemnya. Itulah sebab permasalahan tidak kunjung mendapat solusi yang pas. Saat ini, kita butuh perubahan sistem yang nyata. Bukan hanya di Indonesia tetapi seluruh penjuru dunia butuh sentuhan Islam dalam mengelola negara, bukan sekadar menerapkan Islam secara individual, melainkan komunal dan fundamental. Negara sistem pemerintahan islam dan petugas negara akan selalu taat pada Allah karena memahami adanya pertanggungjawaban dunia dan akhirat,.Wallahu ‘alam Bishowab…