Oleh: Dr.H. Abdul Wahid, MA-(Muballigh & Akademisi Makassar)
Beberapa pekan terakhir kota Makassar, Sulawesi Selatan tengah menjadi pusat perhatian media nasional dan internasional khususnya pasca terjadinya peristiwa ledakan bom bunuh diri di pintu gerbang gereja Katederal Makassar pada akhir Maret lalu.
Hal senada dikemukakan oleh Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E. Zulpan, menurutnya diantara media asing yang menyorot peristiwa bom Makassar adalah media Malaysia ”The Straits Times” pada Minggu (28/3/2021) dan masih ada sejumlah media dari beberapa negara lainnya yang memberitakan tentang peristiwa bom Makassar.
Seiring dengan waktu pasca peristiwa ledakan bom di Makassar kemudian membuat rentetan peristiwa teror terjadi di beberapa tempat dan daerah di Indonesia sehingga isu terorisme kemudian kembali menjadi tranding topik diberbagai media konvensional maupun media online yang berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat baik di Makassar maupun daerah lainnya di Indonesia.
Di sisi lain kita sepakat bahwa paham dan gerakan terorisme sudah dapat dipastikan tidak mewakili ajaran agama tertentu khususnya Islam di Indonesia, namun realitasnya gerakan terorisme selama ini selalu menjadikan “Islam sebagai korban”, dengan slogan “jihad”, yang dilakukan oleh oknum tertentu padahal hubungan antara teroris dan Islam diibaratkan seperti langit dan bumi yang sangat jauh dan tidak mungkin bisa disatukan.
Karena itu, gerakan terorisme yang dibungkus dengan kedok “jihad”, adalah sangat keliru bahkan menyesatkan, sebab makna jihad dalam Islam tidaklah sesempit sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku teror tersebut.
Jihad dapat dimaknai sebagai “qital” atau “perang”, apabila umat Islam diserang oleh musuh, maka makna jihad di sini adalah upaya maksimal umat Islam untuk mempertahankan diri, keluarga, agama dan tanah airnya yang bisa jadi berujung pada jatuhnya korban dari pihak musuh, tapi tentu dalam konteks ini posisi umat Islam dalam rangka membela diri dari serangan musuh bukan mencari musuh.
Selanjutnya jika dalam keadaan damai, maka makna dan medan jihad dalam Islam sangatlah luas, diantaranya meliputi seluruh dimensi kehidupan umat. Jihad dalam konteks ini bermakna “upaya sungguh-sungguh” yang dilakukan oleh umat Islam agar apa yang ia cita-citakan dapat diraih dengan nyata, sesuai ketentuan hukum syariat dan hukum negara. Misalnya “jihad” atau bersungguh-sungguh dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah yang damai, jihad melawan kebodohan, kemiskinan, korupsi, narkoba dan lain sebagainya.
Dengan demikian para pelaku teror yang bertopeng dibalik konsep “jihad” yang kemudian menghilangkan nyawa orang lain yang tidak berdosa, apa pun dalihnya adalah sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam bahkan hal tersebut bagian dari tindakan bodoh dan kontraproduktif dengan esensi jihad dalam Islam, sebab perbuatan tersebut bukan dalam kondisi peperangan untuk membela diri.
Dalam konteks itulah, maka pesan-pesan agama yang damai dan menyerukan kepada umat agar tetap menjaga toleransi sesama anak bangsa haruslah menjadi bagian prioritas di samping seruan agar masyarakat tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan karena bangsa kita saat ini masih dalam suasana pandemi Covid-19.
Hal tersebut merupakan tanggungjawab semua elemen bangsa terutama para muballigh melalui mimbar-mimbar dakwah selama bulan ramadhan khususnya, sehingga tugas pemerintah khususnya Polri bisa sedikit terbantu dalam upaya memberi edukasi kepada masyarakat agar tetap menjaga kamtibmas dan mencegah berkembangnya paham-paham radikal di tengah masyarakat.
Para muballigh atau tokoh agama dalam berdakwah hendaknya kembali menoleh sejarah yang telah disajikan oleh al-Qur’an misalnya bagaimana metode dakwah Nabi Musa dan Harun kepada seorang penguasa yang zalim, sombong dan kejam bernama Fir’aun saat itu, Allah SWT. memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendakwahinya, dengan cara yang lemah-lembut, penuh kesantunan dengan harapan agar Fir’aun bisa tersentuh hatinya’ (QS. Thaha [20]: 43-44).
Demikianlah sejatinya etika dan metode dakwah yang harus diterapkan oleh para muballigh. Karena sebejad apa pun orang yang didakwahi, tetaplah harus mengedepankan kelembutan dan kasih sayang. Jika orang seperti Fir’aun saja, para nabi tetap diperintahkan oleh Allah untuk berlemah lembut dalam berdakwah kepadanya, apa lagi untuk mendakwahi sesama muslim atau sesama anak bangsa.
Jajaran Polri lebih khusus Polda Sulsel sudah dapat dipastikan akan terus aktif menjalin komunikasi dan sinergi bersama dengan lembaga terkait seperti TNI, BNPT, BIN serta tokoh agama dan masyarakat untuk mengawal dan menjaga kamtibmas, apa lagi pasca peristiwa ledakan bom di Makassar sehingga ruang gerak dari kelompok radikal dan pelaku teror perlahan bisa dipersempit dan pada akhirnya bisa dihilangkan di tanah air demi menjaga kebhinekaan dari Sabang hingga Merauke.(*)