Penulis: Sintia Demolingo (Aktivis Dakwah Kampus)
Kasus pelecehan seksual kerap terjadi di lingkungan kampus, kali ini dugaan pelecehan seksual dilakukan oleh Rektor Universitas Nahdhatul Ulama Gorontalo (UNUGo) terhadap beberapa dosen hingga tenaga kependidikan di kampus itu. Disampaikan oleh anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Devika Rahayu Daud ada 12 orang yang melaporkan rektor ke pihak lembaga Layanan Tinggi (LLDIKTI) wilayah XIV dan Pengurus Wilayah Nadhatul Ulama (PWNU) Gorontalo.
Dalam laporan satgas ini ternyata sudah lama terjadi. Sejak terduga pelaku dilantik menjadi rektor pada November 2023. Jumlah korban mencapai 15 orang namun yang berani melapor baru 12 orang. Disamping itu kasus yang sama juga terjadi di kampus UNG yang dilakukan Oknum Dosen kepada mantan pacarnya. Menurut berita yang beredar kasus ini tidak dilakukan di lingkungan kampus tetapi diluar kampus.
“Dugaan tindak pidana kekerasan seksual terjadi salah satu hotel yang ada di Kota Gorontalo pada 15 April 2024, sementara penganiayaan dialaminya di Kecamatan Dingingi, Kota Gorontalo dua hari setelahnya.” (Hargo.co.id)
Sesat Pikir Pelecehan Seksual di Kampus
Kasus pelecehan seksual seperti fenomena gunung es. Sebab maraknya kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi menjadi catatan tersendiri. Padahal sejatinya perguruan tinggi adalah tempat kaum terpelajar, seharusnya kasus seperti ini terminimlisir. Perlu dipertanyakan kenapa kasus seperti ini seakan terus terjadi?
Sebenarnya sudah ada upaya dalam menangani kasus ini seperti adanya Permen PPKS. Harapannya dengan Permen ini bisa ada ruang aman pengaduan korban dan membawa fungsi untuk menghapuskan kasus kekerasan seksual di dunia kampus. Menurut pandangan satgas maraknya kasus pelecehan seksual di dunia kampus karena kurangnya sosialisasi SOP satgas PPKS pada seluruh civitas academica. Pada kenyataannya bahwa pandangan seperti ini merupakan sesat pikir pihak kampus terhadap penyelesaian kasus pelecehan seksual yang hanya dicukupkan pada persoalan regulasi. Mereka tidak memandang secara keseluruhan bahwa akar penyebab persoalan kasus pelecehan seksual bahkan sampai pada tataran hal yang menyeburkannya. Sehingga ketika pandangannya regulasi permen PPKS sudah cukup menyelesaikan pelecehan seksual, akhirnya yang dioptimalkan sosialisasi Permen PPKS. Padahal ada yang perlu kita kritisi dari dalam regulasi ini yaitu pasal 5 adanya frasa sexual consent.
sexual consent merupakan konsep yang menjadi dasar Permen PPKS yang diduga kuat akan menyuburkan seks bebas dan perilaku menyimpang L687. Terbukti dari beberapa berita yang viral pelecehan seksual dikampus karena aktivitas pacaran. Ketika hal tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka maka tidak dipersoalkan. Hal inilah yang perlu dikritisi sebab dasar semacam ini lahir dari dasar pandangan rusak yaitu sekuler liberal. Justru menjauhkan karakter identitas mahasiswa muslim sebenarnya sebagai pemuda pemimpin bangsa.
Celah Sistemis
Ditengah landasan kehidupan sekuler yang menjamin prinsip kebebasan membutuhkan kemampuan kita memahami realitas sosial saat ini. Banyak hal menjadi penyebab sebenarnya dari aspek individu sampai masyarakat. Individu dengan kebebasan berekspresi maka bebas memperlihatkan aurat sehingga mata para lelaki bebas melihatnya. Ditambah dengan medsos yang tidak bisa di filter tontonan yang tidak senonoh. Selain itu masyarakat dalam bergaul tidak memiliki batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Terlebih hukuman yang diberikan pada pelaku ketika melakukan kasus ini sama sekali tidak berefek jera. Sungguh kondisi ini berpotensi merugikan korban hingga masyarakat pada umumnya. Tatanan kehidupan sekuler tidak memiliki langkah preventif dan terarah untuk menangkal kasus pelecehan seksual. Lantas bagaimana menyelamatkan mahasiswa dari kasus pelecehan seksual?
Islam Menyelamatkan Mahasiswa dari Pelecehan Seksual
Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Islam bukanlah agama yang reaktif ketika ada persoalan barulah muncul regulasi. Selain itu mulianya Islam mengatur seluruh aspek kehidupan kita diberbagai bidang utamanya dalam pendidikan. Dalam perguruan tinggi perlu menetapkan visi yang shahih berasaskan akidah Islam untuk mencetak kepribadian Islam dan jiwa kepemimpinan terhadap masyarakat. Segala bentuk kebijakan dan arah kurikulumnya melindungi mahasiswa dari aktivitas merusak kepribadian dan karakter identitasnya sebagai seorang muslim.
Islam memberikan tuntunan mekanisme untuk memutus rantai pelecehan seksual, diantaranya: pertama, menerapkan pergaulan Islam dengan menjaga interaksi laki-laki dan perempuan baik di ranah umum maupun privat. Sistem Islam akan menutup celah bagi individu bagi aktivitas mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab adanya kasus pelecehan seksual terpicu rangsangan dari luar yang memengaruhi naluri seksual. Selain itu, semua akan diatur terpisah baik sekolah, perguruan tinggi dan layanan publik.
Kedua, aspek i’lamiyah atau media dan informasi, sebagai bentuk membangun masyarakat yang kukuh. Tidak akan dijumpai informasi merusak iman dan akhlak masyarakat. Ketiga, adanya amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, menyelisihi kemaksiatan terutama di lingkungan kampus. Hal ini dilakukan agar menjaga berbagai aktivitas maksiat di lingkungan kampus tidak terjadi karena dorongan ketakwaan. Keempat, sanksi yang tegas diberikan pada pelaku pelecehan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku perkosaan berupa had zina yaitu dilempari batu hingga mati jika pemeluknya sudah menikah; dan jilid atau dicambuk 100 kali dan diasingkan selam setahun jika pelakunya belum menikah. Sanksi ini akan berefek jera bagi si pelaku sekaligus menjadi penggugur dosa sampai waktunya di yaumul hisab nanti.
Hal ini menjadi utopis apabila diterapkan dalam tatanan kehidupan hari ini, akan menjadi nyata ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia. Ketika Islam yang diterapkan, maka mahasiswa akan terbebas dari kekerasan seksual. Wallahu’alam Bishawwab.(*)