Oleh: Rostia Mile/ Penulis adalah Aktivis Dakwah
Lagi dan lagi masyarakat semakin tercekik dengan adanya kenaikan kembali harga bahan bakar minyak (BBM), dimana pertamina akhirnya kembali melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax (RON92) yang berlaku efektif mulai 10 Agustus 2024. “PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) Umum dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum,” bunyi pengumuman Pertamina, Jumat (9/8/2024).
Adapun di Gorontalo yang merupakan salah satu provinsi non-Jamali (Jawa, Madura, dan Bali) yang mulai menerapkan subsidi tepat Pertalite selain enam provinsi lainnya, yaitu Kepulauan Riau, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja ESDM & Transmigrasi Provinsi Gorontalo Wardoyo Pongoliu, jumlah masyarakat yang telah melakukan registrasi QR Code untuk transaksi pembelian Pertalite di SPBU telah mencapai 99 persen.
Kenaikan harga BBM pasti berdampak pada kenaikan harga barang-barang dan selanjutnya mengerek laju inflasi, sebab rakyat berada dalam posisi sebagai konsumen yang mau tidak mau harus membeli BBM demi kebutuhan usaha dan transportasi sehari-hari. Bahkan sejumlah warga mengeluhkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi Pertamax yang mulanya Rp 12.950 per liter menjadi Rp 13.700 per liter.
Problem yang tak kunjung selesai
Kenaikan BBM pada bulan kemerdekaan Indonesia yakni pada bulan Agustus menjadi sebuah ironi, betapa kita belum merdeka secara hakiki, karena untuk urusan kebutuhan pokok yaitu BBM, Indonesia yang kaya sumber daya minyak bumi ternyata sama saja dengan SPBU swasta yang menjual BBM dengan harga mahal. Sebab kenaikan BBM nonsubsidi menunjukkan bahwa tidak ada bedanya antara SPBU Pertamina milik negara dengan SPBU swasta. Keduanya mempunyai posisi yang sama sebagai pedagang yang menjual BBM sesuai dengan harga pasar. Artinya, keduanya sama-sama menargetkan keuntungan dari hasil penjualan BBM yang dilakukan. Sehingga pemerintah sama saja dengan perusahaan swasta yang fokus mencari keuntungan, bukan mengurusi kebutuhan rakyat.
Kenaikan BBM bukanlah kejadian yang spontan, akan tetapi sudah di rancang dan direncanakan, bahkan merupakan amanat daripada undang-undang. Sebagaimana UU Migas (UU 22/2001) telah membuka pintu bagi perusahaan asing untuk mengeksploitasi migas di Indonesia secara besar-besaran, termasuk menguasai perdagangan minyak dan gas di sektor hilir. Adapun naiknya BBM non subsidi merupakan buah sistem kapitalisme yang menjadikan negara sebagai regulator. Sehingga konsekuensinya terjadi liberalisasi dalam pengelolaan SDA yang membuka peluang investor untuk mengelolanya. Pada pengelolaan demikian hanya menguntungkan para kapital dan merugikan rakyat yang sejatinya pemilik SDA tersebut.
Inilah wajah asli sistem kapitalisme. Negara tidak berfungsi sebagai ra’in (pengurus) rakyatnya, tetapi sebagai regulator yang hanya membuat regulasi semata. Sebab regulasi tersebut hanya dibuat oleh manusia, maka ia didesain untuk menguntungkan para penguasa dan orang-orang terpilihnya saja. Dimana pada regulasi tersebut tidak bertujuan mewujudkan kemaslahatan rakyat. Walhasil, liberalisasi migas secara legal tampak secara kasat mata.
Sedangkan yang menjadi satu-satunya dalam pihak yang diuntungkan dari kenaikan BBM ini adalah para kapitalis yang mengelola migas dari hulu hingga hilir. Dimana mereka sudah mendapatkan tambang secara gratis, mereka juga mendapatkan izin untuk menjualnya dengan mahal sesuai harga pasar internasional. Sungguh betapa naifnya mereka ketika mengambil keuntungan yang sampai berlipat-lipat. Sedangkan rakyat sang pemilik sejati sumber daya tambang itu hanya bisa gigit jari dan merasakan penderitaan yang semakin tercekik ini.
Alhasil, pengelolaan BBM yang semestinya ada di tangan negara pun telah tergadai, dari hulu hingga ke hilir. Adanya pengelolaan tersebut banyak diserahkan kepada swasta. Meski saat ini pertamina masih terlihat mendominasi sektor hilir. Sebab pada faktanya, kilang-kilang minyak yang ada banyak dimiliki swasta. Sehingga mahalnya BBM dan kelangkaannya sebenarnya bukan karena negeri ini miskin minyak. Akan tetapi, yang menjadi akar dari permasalahannya terletak pada paradigma dan visi misi tata kelola minyak yang sangat kapitalistik.
Hanya IsIam yang Menjadi Solusi Terbaiknya
Negara dalam islam berperan sebagai raa’in yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan penerapan sistem politik dan ekonomi islam dalam pengaturan SDA. Dengan konsep kepemilikan Islam, SDA akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan negara atas rakyat. Harga BBM pun dalam kendali negara sehingga rakyat tidak akan menderita dengan perubahan harga minyak dunia. Negara islam dengan Baitul malnya, yang memiliki sumber penerimaan beragam akan mampu menjaga kestabilan harga sehingga rakyat tidak terkena dampak buruk perubahan harga minyak dunia.
Sedangkan dalam tinjauan syariat Islam, BBM adalah salah satu sumber daya alam milik umum karena jumlahnya yang terhitung masih melimpah dan masyarakat membutuhkannya. Dengan demikian, Islam melarang pengelolaannya diserahkan kepada swasta/asing. Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Berserikatnya manusia dalam ketiga hal tersebut atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan orang banyak (komunitas) yang jika tidak ada, mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya, berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput, dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas. (Al-Waie, 2019)
Dengan demikian, apa pun yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum dan masyarakat membutuhkan dan memanfaatkannya secara bersama, pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta, ataupun asing. Negaralah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan harta milik umum tersebut. Dalam hal minyak bumi, negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasilnya kepada masyarakat secara adil dan merata, serta tidak mengambil keuntungan dengan memperjualbelikannya kepada rakyat secara komersial. Kalaupun negara mengambil keuntungan, itu untuk menggantikan biaya produksi yang layak dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Dengan tata kelola minyak yang berlandaskan pada syariat Islam, negara akan mampu memenuhi bahan bakar dalam negeri untuk rakyat. Negara juga memberikan harga yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, minyak bumi dan gas alam adalah harta milik umum yang pengelolaan dan ketersediaannya dikelola langsung oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis di atas menyebutkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak (hutan, laut, danau, perairan serta tambang dan migas) dikuasai oleh negara. Oleh karenanya, haram dimiliki atau dikelola perorangan apalagi asing. Islam mewajibkan negara mengelolanya, kemudian hasilnya diberikan pada rakyat, baik muslim maupun non-muslim. Gas LPG, misalnya, karena berhubungan dengan kebutuhan umat, sudah seharusnya tidak ada perbedaan antara rakyat. Kaya atau miskin berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Jikalau yang satu mendapat gas dengan harga murah atau bahkan gratis, yang lain pun harus demikian.
Hanya saja, pengelolaan yang demikian hanya akan terwujud jika negara mengambil Islam dan mencampakkan hukum liberal. Sebagaimana dilakukan pemerintahan Islam selama 13 abad yang menerapkan hukum Islam dan mampu menjadi negara independen.(*)