Oleh: Dr. H. Abdul Wahid, M.A – (Muballigh dan Dosen Agama STIE Tri Dharma Nusantara Makassar)
Sistem demokrasi telah kita sepakati bersama sebagai instrumen yang hingga hari ini dianggap paling tepat di Indonesia dalam menentukan dan merotasi kepemimpinan daerah dan nasional setiap lima tahun sekali, untuk itu sudah seyogyanya semua pihak harus menjaga marwah dan prinsip-prinsip demokarasi itu sendiri.
Diantara prinsip tersebut yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat, adanya kebebasan bagi seluruh warga negara khususnya dalam menentukan dan menyalurkan hak politiknya disetiap perhelatan Pemilu dan Pilkada. Kebebasan ini terwujud dengan tidak mengintimidasi suara rakyat dengan politik uang dan sejenisnya.
Di sisi lain, salah satu parameter demokrasi yang sehat yaitu ketika proses demokrasi bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab, patuh pada aturan hukum yang berlaku, terutama aturan yang terkait dengan UU Pemilu, misalnya tidak mempraktikkan kampanye hitam (black campaign) menghindari propaganda yang berujung rasis, tidak mempolitisasi berbagai informasi yang kemudian menjadi hoax dan termasuk di dalamnya menghindari politik uang.
Belajar dari pengalaman selama ini disetiap perhelatan Pilkada praktik politik uang (money politick) sering mewarnai dan mengotori proses demokrasi kita di tanah air, bahkan praktik politik uang ini seakan menjadi bagian yang “wajib” dan salah satu senjata pamungkas dari oknum paslon tertentu terutama di detik-detik terakhir menjelang hari pemungutan suara, dari fenomena ini kemudian muncul istilah “serangan fajar atau serangan darat”.
Politik uang tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tapi lebih dari itu melanggar hukum etika dan agama, karena praktik politik uang dapat dikategorikan sebagai riswah (sogok menyogok), saking tercelanya perbuatan yang demikian ini Nabi saw. pernah bersabda; “Allah melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR At-Tirmidzi).
Dalam pandangan Bung Hatta salah seorang proklamator bangsa, beliau menyebut ada tiga pilar demokrasi salah satu diantaranya adalah “pilar agama”. Artinya nilai-nilai agama harus menjadi inspirasi dan spirit dalam pelaksanaan demokrasi di tanah air, termasuk salah satu diantaranya agama melarang adanya praktik politik uang, demikian pula dalam demokrasi.
Politik uang di samping melanggar prinsip demokrasi, juga tidak memberi edukasi politik yang baik kepada masyarakat dan dapat mematikan kemerdekaan masyarakat dalam menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan politiknya serta sulit menghadirkan sosok pemimpin yang amanah dan membela kepentingan rakyat, karena semuanya diukur oleh uang dan pada saat ia terpilih tentu akan berpikir bagaimana cara agar minimal modal politiknya bisa dikembalikan.
Khusus dalam pelaksanaan Pilkada di kota Makassar tahun ini, potensi praktik politik uang ini juga perlu diwaspadai oleh semua pihak, sebab akan sangat mungkin terjadi mengingat persaingan yang sangat ketat terjadi diantara keempat paslon kian terlihat terutama dua pekan terakhir ini. Khusus kepada masyarakat kota Makassar agar bersama-sama berkomitmen untuk menolak politik uang, jangan mau suaranya dibeli sebab akibatnya akan menderita lima tahun ke depan.
Kepada pihak penyelenggara Pilkada khususnya KPU dan Bawaslu harus terus meningkatkan kerjasama dengan jajaran Polda Sulawesi Selatan, sehingga akan lahir sebuah sinergitas dan kekompakan dalam memantau, mengawasi serta mengamankan seluruh tahapan Pilkada di Sulawesi Selatan terkhusus di kota Makassar agar tidak terjadi hambatan dan hal-hal yang kita tidak inginkan, apalagi bangsa kita saat ini masih dalam siaga menerapkan protokol kesehatan demi mencegah penularan virus COVID-19 di tanah air. (*)