
Oleh: Karmila Napu, S.Pd/ Pengajar
Lebih dari 39.000 anak di Jalur Gaza telah kehilangan satu atau kedua orangtua mereka akibat serangan Israel yang terus-menerus sejak 7 Oktober 2023. Menurut Biro Statistik Palestina seperti dilansir Al Mayadeen, Jalur Gaza kini menghadapi krisis yatim terbesar dalam sejarah modern. Dalam pernyataan yang dikeluarkan menjelang Hari Anak Palestina, biro tersebut mengonfirmasi bahwa 39.384 anak telah menjadi yatim sepanjang 534 hari pengeboman. Dari jumlah tersebut, sekitar 17.000 anak kehilangan kedua orangtua dan kini “menghadapi kehidupan tanpa dukungan atau perawatan.” ( Liputan6.com)
Kebrutalan zionis makin luar biasa telah menyebabkan puluhan ribu anak menjadi korban genosida, sebuah tragedi yang juga mewariskan kepedihan mendalam bagi ribuan anak yang kini yatim piatu. Pukulan telak bagi penegak HAM yang hanya mampu menyampaikan kecaman, menyaksikan puluhan ribu anak meregang nyawa dan kehilangan orang tua tanpa ada yang melindungi mereka..
TAK KUAT DAN TAK MAMPU MELINDUNGI
Sejak tahun 2023 dari UNICEF mengeluarkan tanda bahaya atas meningkatnya korban anak dalam konflik Israel-Palestina adalah tamparan keras bagi nurani kolektif dan efektivitas diplomasi global. Imbauan UNICEF untuk de-eskalasi dan perlindungan anak seharusnya membangkitkan konsensus politik internasional untuk menekan semua pihak yang terlibat agar menghentikan kekerasan. Ketidakmauan atau ketidakmampuan komunitas internasional untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum internasional dan hak-hak anak adalah noda hitam dalam sejarah peradaban modern. Dan ditahun 2025 Enam kepala badan PBB mendesak dunia segera bertindak tegas untuk melanjutkan gencatan senjata diGaza, memastikan bantuan kemanusiaan lancar, dan melindungi warga sipil. Pernyataan tanggal 7 April ini ditandatangani oleh pimpinan OCHA, UNICEF, UNOPS, UNRWA, WFP, dan WHO. Semua fakta ini terjadi di tengah narasi soal HAM dan tetek bengek aturan internasional dan perangkat hukum soal perlindungan dan pemenuhan hak anak. nyatanya aturan-aturan tersebut tak mampu menghentikan apalagi mencegah penderitaan anak-anak Palestina. Nyatanya Zionis seolah tak tersentuh sanksi politik, ekonomi, maupun sosial karena PBB memilih diam tanpa aksi nyata. Ketidakberdayaan PBB ini diperparah oleh sokongan AS dalam berbagai aspek, mulai dari politik hingga kekuatan militer. Dengan demikian, adalah beralasan kuat untuk menempatkan Zionis dan AS sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat, bahkan layak disebut sebagai penjahat kemanusiaan internasional.
Dunia telah bersuara mengecam kebiadaban Zionis, namun genosida di Palestina terus terjadi tanpa dampak berarti, memperlihatkan standar ganda HAM Barat yang mengabaikan hak Muslim dan justru menyalahkan mereka serta Islam saat hak mereka sendiri dilanggar. HAM Barat, yang berakar pada sekularisme dan kapitalisme, menempatkan kebebasan manusia sebagai tolok ukur tanpa landasan agama, sehingga gagal menjadi solusi HAM yang adil dan universal. Paradigma kebebasan individualistik ini kontras dengan Islam yang memandang manusia terikat syariat dan menawarkan konsep hak manusia yang terstruktur (maqâshidusy syarî‘ah) sebagai alternatif yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perlindungan nilai-nilai fundamental.
STOP BERHARAP ! BUTUH YANG KUAT DAN MAMPU MELINDUNGI
Semua ini semestinya menyadarkan umat bahwa tidak ada yang bisa mereka harapkan dari lembaga-lembaga internasional dan semua aturan yang dilahirkannya. Masa depan Gaza/Palestina ada pada tangan mereka sendiri, yakni pada kepemimpinan politik Islam atau khilafah yang semestinya sungguh-sungguh mereka perjuangkan. Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim yang akan berperan sebagai junnah (perisai) untuk membela tanah kaum muslim, juga kemuliaan Islam dan kaum muslim, tidak hanya di Palestina tetapi juga di seluruh dunia. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
Palestina dibebaskan dari penjajahan Romawi melalui jihad fi sabilillah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab (637 M) , dengan pembebasan Baitulmaqdis yang damai. Setelah sempat direbut tentara Salib dan mengalami perlakuan buruk selama hampir 90 tahun, kemudian Baitulmaqdis kembali ke tangan Muslim di bawah Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187 M. Sejarah mencatat bahwa pembebasan dan perlindungan Palestina selalu terkait dengan kepemimpinan Islam yang kuat, seperti penolakan Sultan Abdul Hamid II terhadap tawaran Zionis. Oleh karena itu, pembebasan Palestina dari penjajahan Zionis hanya akan terwujud dengan tegaknya Khilafah yang akan mengirimkan pasukan jihad untuk merebut kembali tanah suci tersebut, menjadikan jihad dan Khilafah sebagai solusi utama.
Khilafah berfungsi sebagai rain dan junnah, tidak akan pernah membiarkan kezaliman menimpa rakyatnya. Khilafah terbukti selama belasan abad berhasil menjadi benteng pelindung yang aman, dan memberikan support system terbaik bagi tumbuh kembang anak sehingga mereka bisa menjadi generasi cemerlang pembangun peradaban emas dari masa ke masa. Tentu, Setiap muslim wajib terlibat dalam memperjuangkan kembalinya khilafah agar mereka punya hujjah bahwa mereka tidak diam berpangku tangan melihat anak-anak Gaza dan orang tua mereka dibantai oleh zionis dan sekutu-sekutunya..(*)