Oleh: Dr. H. Abdul Wahid, MA- (Muballigh dan Akademisi Makassar)
Dinamika politik di sejumlah daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak tahun ini, termasuk Kota Makassar semakin menghangat setelah keluarnya beberapa hasil survei dari para paslon yang akan berkontestasi dalam Pilkada tahun ini. Namun demikian terlepas dari hasil survei tersebut kepada para paslon dan para pendukung diharapkan tidak mudah terpancing dengan angka-angka yang telah dirilis oleh lembaga survei tertentu. Sebab, terlalu dini untuk dapat menyimpulkan siapa yang akan keluar menjadi pemenang dalam Pilkada tahun ini termasuk pada Pilwali di Makassar.
Tugas para paslon dan pedukung saat ini adalah berusaha untuk memaksimalkan peran mesin partai pengusung dan tim sukses masing-masing agar dapat menggunakan cara (strategi) yang tepat untuk memberi keyakinan kepada masyarakat, bahwa merekalah paslon yang memiliki program kerja yang terbaik jika diberi mandat oleh rakyat untuk menahkodai daerahnya masing-masing lima tahun mendatang.
Klaim program kerja paling baik dibandingkan dengan paslon lain, tidak dalam posisi saling merendahkan apa lagi mengecam program kerja dari paslon tertentu.
Konteks ini harus diletakkan pada posisi untuk membakar semangat kepada paslon dan para pendukungnya masing-masing agar bisa all out dalam memenangkan kontestasi Pilkada tahun ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kearifan lokal.
Pemimpin “apa adanya dengan ada apanya” memiliki perbedaan yang cukup jelas. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari gaya politik yang dipertontonkan kepada publik oleh para elite dan kontestan yang akan ikut bertarung pada pilkada serentak tahun ini.
Bagi pemimpin “apa adanya”, maka ia berusaha untuk tidak terjebak pada model politik pragmatis, dan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pada saat yang sama pemimpin yang seperti ini berusaha untuk tidak menggunakan cara-cara yang kotor, yang berpontensi membuat kegaduhan dan gangguan kamtibmas di tengah masyarakat.
Sebaliknya “pemimpin yang ada apanya” yaitu sosok pemimpin yang terjebak pada politik pragmatis, emosional, cenderung menghalalkan segala cara demi memuluskan ambisinya untuk meraih kekuasaan. Program kerja yang ia tawarkan ke publik terlalu muluk-muluk, melangit, walau kadang harus bertentangan dengan akal sehat.
Gaya politik yang dipertunjukkan ke publik yakni politiik pencitraan; dan kepura-puraan hal ini dia lakukan untuk menambah simpatik dari masyarakat sehingga dapat menambah perolehan suaranya di hari pemungutan suara ke depan.
Pemimpin yang “ada apanya” ialah sosok pemimpin yang karena kepentingan politik, maka pola interaksi yang ia bangun dengan masyarakat pun sarat dengan motiv dan kepentingan. Tipikal pemimpin seperti ini ke depan jika diberi amanah rentan untuk melupakan janji-janji politiknya saat ia kampanye.
Dilihat dari perspektif agama sosok pemimpin seperti ini bisa dikategorikan terlalu memaksakan kehendak walau tidak memiliki kemampuan yang maksimal. Dalam konteks inilah Nabi saw. pernah berpesan, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. (HR. Bukhari).
Di tahun 2020 ini, akan diadakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau Pilkada Serentak yang rencananya dilaksanakan bulan September 2020 diundur jadi Desember 2020, akibat adanya pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia termasuk Indonesia.
Terlepas dari adanya perubahan waktu pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini, yang perlu menjadi perhatian semua pihak khususnya para penyelenggara pemilu dan aparat keamanan (Polri) adalah potensi gangguan kamtibmas terutama di Sulawesi Selatan lebih khusus lagi kota Makassar. Tercatat ada 12 kabupaten kota di Sulawesi Selatan yang akan mengikuti Pilkada serentak tahun ini.
Dalam konteks itulah, maka seluruh komponen bangsa lebih khusus lagi para paslon yang akan ikut bertarung dalam pilkada tahun ini agar dapat menghimbau kepada para pendukungnya masing-masing untuk dapat menghadirkan politik yang sejuk, damai, menggunakan narasi dan komunikasi yang tidak berpotensi membuat kegaduhan di tengah masyarakat, terutama lewat sosial media apa lagi pada saat ini Indonesia masih dalam duka pandemi Covid-19.
Kehadiran politik yang sejuk, damai dan bermartabat tahun ini adalah tugas kita semua bersama bersinergi dengan Polri, agar proses demokrasi ini tidak melahirkan polarisasi dan disharmonis di tengah masyarakat.
Prinsipnya, walaupun kita berbeda pilihan politik hal itu sah-sah saja, sepanjang persaudaraan sesama anak bangsa terus tetap terjaga dengan semangat “Bhineka Tunggal Ika”.(*)