Oleh: Arief Abbas – Mahasiswa prodi the Centre for Religious and Cross-cultural Studies, UGM, Jogjakarta.
Ini tahun kedua ibadah puasa Ramadan di tengah pandemi. Jika tahun lalu serba ketat, tahun ini, semua mulai kembali normal. Masjid-masjid mulai dibuka kembali sehingga salat tarawih bisa dilakukan secara berjamaah.
Mobilitas manusia di situs-situs publik seperti pasar, warung kopi, dan tempat-tempat hiburan juga meningkat pesat. Keadaan sosio-ekonominya juga tidak sengkarut laiknya tahun kemarin ketika panic buying terjadi dua tempat vital: toko-toko penyelia bahan pokok dan apotek. Di toko-toko, uang dihabiskan untuk membeli beras berkilo-kilo; sedang di apotek-apotek, mereka membeli handsanitizer, masker, bahkan Alat Pelindung Diri (APD)—yang mestinya digunakan oleh tenaga medis.
Panic buying membuat distribusi pangan dan alat kesehatan tidak merata dan paling penting, ini memaksa saya untuk makan mie instan selama dua hari, berikut mengurung diri di rumah saja.
Sekarang, di tahun kedua, meskipun protokol kesehatan tetap dijalankan, orang-orang mulai acuh terhadap virus.
Masker semula menjadi fitur yang melindungi, mencegah, dan mengurangi penyebaran virus telah menjadi trend saat ini dengan motif dan model berbeda. Mobilitas manusia makin tinggi lewat pembukaan kembali—meski ketentuan tertentu—berbagai macam situs publik seperti kantor, pasar, warung kopi, tempat-tempat hiburan, dsbg.
Jakarta yang notabenenya merupakan tempat yang paling banyak ditemukan, saat Ramadan, tidak diberlakukan PSBB. Jogja barangkali sebulan lalu dan tempat saya berasal, Gorontalo, tidak lagi dilakukan.
Khusus pada pelaksanaan ibadah selama Ramadan, respons dua organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah juga tidak seketat tahun lalu.
Pengurus Besar NU (PBNU) misalnya, menyebut bawa tarawih masih bisa dilakukan di masjid dengan memperhatikan protokol kesehatan; sedang lewat surat edaran 03/EDR/1.0/E/2021, PP Muhammadiyah secara implisit membuka tafsir publik bahwa jika di sekitar tempat tinggal tidak ada penularan COVID-19, maka salat bisa dilakukan secara di masjid.
Di lain sisi, Dewan Masjid Indonesia (DMI) merekomendasikan agar ibadah salat dibagi menjadi dua gelombang dan membuat daya tampung masjid hanya 40% dari total keseluruhan saat salat dilakukan. Di hadapan ghirah keagamaan yang sedang pada puncaknya saat Ramadan, berbagai respons ini adalah kompromi.
Kita boleh melihat ini sebagai kebangkitan kembali hidup yang normal. Namun ini bukan sebuah perkembangan. Sebenarnya, ini sebuah kelalaian, sebuah kengerian yang tidak kita serius: jumlah kasus sudah hinggap di angka 1.5 juta, namun kita biasa-biasa saja.
Di sisi lain, adilkah kompromi terhadap virus yang efeknya, pada taraf yang paling akut, berpotensi mencabut nyawa? Bagaimana jika penyebarannya terjadi diam-diam, saat salat, di saat seseorang saling bersentuhan setelah bersalaman, bahkan hinggap di lantai saat kita sujud?
Di level yang lebih luas, apakah lemahnya intervensi pemerintah di tahun kedua pandemi ini, dengan meningkatnya mobilitas manusia, justru mengafirmasi satu premis bahwa elit-elit sudah tidak mampu? Atau memang masyarakat kita saja yang sulit diatur dan bebalnya minta ampun?
Masalah-masalah ini justru mengarah pada satu fundamen bahwa sebenarnya, yang kondisi paling mengerikan di tengah pandemi itu tidak terjadi ketika hantaman awal, namun justru ketika ia tidak lagi dihiraukan lagi, sebagaimana terjadi di tahun kedua Ramadan ini.
Vaksin memang ada, namun sampai saat ini, distribusinya belum dilakukan secara masif. Belum lagi, tidak sedikit orang yang terkena efek samping seteah divaksin mencitakan berbagai reaksi seperti bengkak, kemerahan, badan lemas, nyeri otot di seluruh tubuh, hingga selulitis. Yang sadar akan karantina mandiri dan interaksi dengan jarak tertentu juga sedikit—untuk menyebutnya tidak ada lagi. Inilah yang saya sebut dengan ketakutan itu.
Ramadan yang masih di tengah pandemi juga berusaha membuat kita memikirkan kembali eksistensi tradisi dan lokalitas masyarakat. Komunitas masyarakat di Gorontalo yang diikat oleh ngala’a atau kekerabatan akan menjadi sulit untuk dilakukan.
Kekerabatan ini dimanifestasikan secara “physically” yang memperjumpakan antara sesama masyarakat, diikuti praktik teteyapuwa (membelai), titiliya (berdekatan), tata’apa (saling menepuk), kukubinga (saling mencubit bahkan dedepita (saling antar makanan). Bentuk ngala’a tidak bisa diganti dengan sekadar sapa lewat grup-grup Whatsapp keluarga atau ekspresinya bisa direpresentasikan lewat emoji.
Di dalam konstruk masyarakat Gorontalo, reduksi terhadap aktifitas fisik ini berarti mereduksi kekerabatan yang sudah terbentuk sejak lama dan, paling penting, it makes no sense at all!
Hal lain yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah cuplikan video yang mempertontonkan ketika ratusan, bahkan ribuan orang berkumpul dan melakukan arak-arak di sepanjang jalan untuk membangunkan orang sahur. Tradisi ini disebut koko’o.
Praktiknya dilakukan dengan membunyikan alat musik tradisional Gorontalo yakni Polopalo. Di dalam video tersebut, orang-orang saling berdekatan dan beberapa lainnya tidak menggunakan masker. Mereka tampak begitu bahagia mengikuti aktifitas tersebut.
Namun suka atau tidak, faktanya, salah satu kultur Gorontalo ini, meskipun menjadi bagian dari identitas komunal, adalah bentuk praktik yang mengingkari terhadap protokol kesehatan.
Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi? Di mana pemerintah, aparat dan Satgas COVID-19 Gorontalo? Di mana “kebengisan” agensi-agensi ini laiknya Ramadan tahun lalu dengan melakukan PSBB tiga tahap bahkan mengganti salat Idul Fitri di rumah saja?
Terlebih, jika membandingkan lonjakan kasus yang terjadi pasca laporan PSBB jilid tiga yang dirilis pada 13 Juni 2020 oleh Covid Crisis Centre, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) dan kasus saat ini, kita akan menemukan sesuatu yang mencengangkan.
Pertama, dari jumlah kasus saat PSBB (183) dan setahun setelahnya (5.258), menunjukkan perbedaan tajam sebesar 5.075 kasus. Jadi, jika diprosentasekan, belum hitung setahun, telah terjadi lonjakan sebesar 2773% dari rata-rata 12% pasca PSBB jilid III. Bagi saya, angka-angka ini benar-benar mengerikan. Tapi apakah pemerintah merasakan hal demikian?
Berbagai fenomen ini turut mengafirmasi bahwa pandemi juga bukan melulu soal kesadaran masyarakat yang tidak patuh. Lebih dari itu, pandemi, dalam wilayah yang lebih luas adalah politik.
Pandemi sebagai politik mengisyaratkan keterlibatan antar aktor, institusi, dan agensi dengan relasi kuasa yang saling terkait satu sama lain. Itu sebabnya, kebijakan pemerintah dalam proses intervensi yang tidak dilakukan secara benar justru berpotensi sebagai kanal terciptanya klaster-klaster baru yang lebih besar.
Dan, di dalam ketidakhirauan itulah, pandemi secara tidak sadar terus menerus menyebar dengan masif. Untuk itulah, Ramadan tahun ini, tidak saja menjadi ruang di mana ibadah-ibadah wajib dan sunnah ditegakkan kembali, namun juga sebagai bahan refleksi kritis terhadap kondisi yang sedang kita jalani.
Bahwa pandemi masih ada dan barangkali masih akan ada dalam kurun waktu yang belum jelas.(*)