Oleh : Funco Tanipu, (Covid-19 Crisis Center UNG)
Ada tiga hal yang berhubungan erat ; covid-19, mobilitas penduduk dan ekonomi. Ketiganya tidak bisa dibahas dalam porsi yang berbeda-beda. Harus dalam satu kesatuan. Misalnya hanya membahas ekonomi saja, tanpa membahas Covid-19.
Meluruskan Wacana Covid-19
Bahwa ada yang mewacanakan Covid-19 “tidak ada” itu tentu hal yang keliru. Covid-19 ada. Persoalan ada wacana konspirasi, permainan bisnis dan upaya globalist itu soal yang lain. Sedangkan harga gula pasir, beras, jagung saja ada “konspirasi” dibalik itu.
Bahwa angka kematiannya (case fatality rate) rendah memang betul, tetapi angka CFR itu menyasar mereka yang berada di kelompok rentan seperti usia diatas 50, memiliki pernyakit bawaan, gizi rendah (stunting) dan sebagainya.
Covid-19 menjadi trigger CFR bagi kelompok tersebut.
Pada konteks yang sama, sebelum ada vaksin dan obat Covid-19 yang diproduksi massif sebagai intervensi medis, maka dalam penanganan pandemi diperlukan intervensi non-medis dalam menghambat laju penyebarannya.
Di Indonesia sendiri ada PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), di beberapa daerah PSBB dinilai efektif menurunkan angka Rt (Reproduksi Efektif Harian), angka standar untuk membaca laju penyebaran pandemi.
Harapannya, jika Rt < 1 selama dua minggu, peningkatan kasus terus menurun, rasio tes semakin tinggi maka dibolehkan untuk pelonggaran.
Pelonggaran pun mesti terus meningkatkan kepatuhan terhadap protokol, demikian pula peningkatan rasio tes dan tracking yang massif.
Sayangnya, pelonggaran dalam hal ini wacana new normal, tidak diikuti oleh kepatuhan terhadap protokol, demikian pula dengan tracking dan tes yang massif. Sehingga upaya dari pembatasan sosial lalu pelonggaran tidak berbuah hasil yang efektif.
Pelonggaran itu diharapkan bisa membangkitkan kembali ekonomi yang bisa disebut menurun akibat dari pembatasan ketat. Tapi upaya menggairahkan ekonomi bisa jadi tidak akan berhasil jika pelonggaran terhadap mobilitas penduduk tidak diikuti oleh kepatuhan warga terhadap protokol.
Jadi, secara sederhana bisa digambarkan (1). kalau mau untuk menahan laju penyebaran Covid-19 maka pembatasan mobilitas harus diatur dengan efektif, otomatis jika pembatasan terhadap mobilitas diterapkan maka akan menurunkan kinerja ekonomi negara maupun daerah.
(2). Jika mau kinerja ekonomi negara dan daerah meningkat maka harus dilakukan pelonggaran terhadap mobilitas penduduk.
Dalam dua hal itu, mobilitas menjadi kunci tengah penanganan pandemi dan perbaikan ekonomi. Jadi, ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lain, tidak bisa dipisah-pisah pembahasannya.
Bagaimana Melonggarkan Mobilitas?
Pertanyannya, bagaimana mengendalikan mobilitas agar bisa menghambat laju penyebaran Covid-19, namun aktifitas ekonomi terus berjalan.
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan komitmen semua pihak.
(1). Pembatasan sosial bisa dilonggarkan asalkan protokol kesehatan terus ditingkatkan. Jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, menghindari kerumunan, mengurangi aktifitas di ruang ber AC. Sambil terus memperhatikan kondisi kesehatan setiap warga.
(2). Harus diakui bahwa beberapa negara telah mengumumkan telah resesi, demikian pula dengan Indonesia, sedangkan daerah akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang drastis, hingga akan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Karena itu melonggarkan pembatasan mobilitas diharapkan bisa menggairahkan kembali kinerja ekonomi, minimal ekonomi tidak sampai terpuruk hingga resesi. Orang-orang bagaimanapun harus terus bekerja dan “cari makan”. Bekerja dan “cari makan” inilah yang harus diikuti kepatuhan terhadap protokol.
(3). Bagi institusi-institusi publik seperti kantor pemerintahan, kampus, bank, sekolah, jika memungkinkan untuk bekerja secara remote (online) maka hal ini lebih baik dijalankan.
Bagi yang harus offline maka penting untuk membatasi kerja offline bagi kelompok rentan seperti usia diatas 50 an, memiliki penyakit rentan, ibu hamil, dan lainnya.
Ruangan kerja pun harus didesain untuk mengurangi atau bahkan tidak lagi menggunakan pendingin udara dan melakukan renovasi agar sirkulasi udara lebih lancar. Kerja online dan mengurangi pendingin udara tentu akan lebih efisien dari sisi anggaran.
(4). Dalam beberapa hari belakangan, jumlah tenaga kesehatan yang terpapar semakin banyak, hal ini akan beresiko jika angka ini terus naik dan jumlah pasien yang harus dirawat intensif semakin tinggi.
Maka hal ini harus disiasati dengan mengoptimalkan mekanisme pencegahan di level desa, dan kecamatan.
Program-program pemerintah tidak bisa hanya melulu sembako, namun perlu ditambahkan dengan makanan bergizi dan vitamin yang bisa melengkapi kebutuhan gizi warga.
Khususnya bagi kelompok stunting, ibu hamil, kelompok berpenyakit rentan, kelompok usia tertetu, harus diberikan tambahan makanan gizi sesuai dengan kebutuhan, dan mulai dibatasi mobilitas dan terus menjaga jarak dari keluarga yang memiliki mobilitas tinggi.
(5). Jika pandemi ini akan berlangsung tahunan, maka resiko resesi bukan lagi perkiraan, tapi kenyataan. Bagi mereka yang berada di kelompok ekonomi yang rentan, tentu akan menghadapi resiko yang tragis.
Kemiskinan saat ini lebih banyak di desa, karena itu tiap desa harus mulai memikirkan masa depannya secara “mandiri”. Bahwa kategori “mandiri” adalah bagian dari tingkatan dalam indeks desa, kini status “mandiri” tersebut sudah harus dipaksa secara maksimal.
Desa-desa harus memulai melakukan refocussing anggaran desa pada ketahanan ekonomi dan pangan. Program-program yang tidak memiliki dampak langsung terhadap ketangguhan desa harus dipikirkan untuk diprogramkan di masa akan datang.
(6). Desa yang berjumlah lebih dari 80 ribu kini belum terpapar semua, penyebaran masih lebih banyak di areal ruang publik perkotaan. Akan lebih beresiko jika penyebaran Covid-19 sudah memasuki desa.
Sebab desa memiliki tingkat interaksi sosial yang cukup tinggi, literasi sebagian besar warga juga terbatas, belum lagi jika banyak desa-desa yang memiliki struktur sosial kekerabatan yang tinggi, ditambah dengan banyaknya jumlah aktor lokal yang tidak tanggap terhadap literasi Covid-19.
Faktor-faktor tersebut menjadikan desa lebih beresiko dibandingkan kota. Belum lagi ditambah jumlah stunting di desa lebih tinggi dibandingkan kota.
Karena itu, penguatan desa menjadi urgen, desa harus didesain memiliki ketangguhan karena kerentanan yang dimiliki cukup tinggi.
Desa Tangguh: Mengelola Mobilitas, Memperkuat Ekonomi
Covid-19 Crisis Center UNG setelah selama ini banyak melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar di level provinsi, kini lebih gencar mendorong pembatasan sosial dalam hal ini mobilitas pada wilayah yang dianggap beresiko.
Beberapa hal yang menjadi fokus Covid-19 Crisis Center UNG adalah mendorong untuk mulai melakukan ;
(1). Pembatasan sosial berskala kecil hanya untuk wilayah yang beresiko tinggi, dengan berbasis pada tracking dan tes yang efektif.
Resiko tersebut bisa dinilai dari pola interaksi sosial, tingkat literasi, ketahanan ekonomi dan pangan, fungsi aktor kunci, kondisi geografis, demografi, tingkat gizi buruk, kelompok usia rentan, penduduk yang memiliki penyakit rentan, dan faktor-faktor lainnya.
(2). Wilayah-wilayah tersebut bisa disebut desa, dusun, kelurahan atau lingkungan tertentu. Hal ini bisa dicapai jika metode pemeriksaan diarahkan pada metode pool test seperti yang sudah diujicoba di beberapa daerah, nantinya akan menghasilkan “ring-ring” yang itu bisa berskala rumah, lingkungan, dusun atau desa. Metode ini lebih hemat dibandingkan tes yang dilakukan selama ini.
(3). Desa-desa harus mulai memetakan dirinya, seberapa besar kerentanan baik itu terhadap Covid-19 maupun ekonomi. Jika semakin rentan, maka upaya untuk membangun ketangguhan harus pada skala yang lebih intens.
Hingga mulai menetapkan desa-desa tangguh agar ada kemandirian dalam menilai dan merumuskan kembali ketangguhan secara mandiri.
Covid-19: Momentum “Latihan” dan Refleksi Diri
Sebagai penutup, upaya-upaya diatas adalah tanggung jawab semua kalangan, setiap waktu begitu berharga.
Setiap apa yang dilakukan akan berdampak nyata, jika kita berada dalam konteks kolaborasi untuk melawan pandemi, maka hasilnya akan baik, namun jika kita terpecah-pecah maka hasilnya sangat beresiko.
Covid-19 adalah momentum “latihan” kemandirian bagi kita semua, juga sebagai ruang untuk seleksi ketangguhan dan kerentanan semua hal, apakah itu kerentanan kebudayaan kita hingga harus melakukan adaptasi terhadap perilaku yang baru, ataukah kebudayaan kita memang tangguh karena kemampuan adaptasi yang tinggi.
Tentu, semua orang dipaksa harus tangguh, mau apakah rentan atau tidak, pokoknya harus tangguh. Karena hanya ketangguhan adalah siasat terbaik yang terbukti bisa melahirkan kita semua pada masa kini.
Ketangguhan pula yang bisa menyelamatkan spesies kita dari berbagai macam potensi depopulasi, kerentanan, bahaya, bencana, virus dan banyak hal yang menjadi ancaman dalam perjalanan sejarah umat manusia.
Ketangguhan tersebut tentu adalah karunia yang harus disyukuri, sebagaimana tugas utama kita sebagai orang yang beragama.
Rasa syukur tersebut adalah bukti bahwa kita selain memiliki daya adaptasi, juga memiliki kerentanan dalam artian memiliki banyak kelemahan sebagai manusia.
Sudah saatnya upaya-upaya, termasuk inovasi, harus diarahkan pada memperkuat ketahanan dan ketangguhan, memperbaiki celah dan kekurangan. Hingga kita semua bisa selamat dari masa yang mengerikan seperti sekarang ini. **