
Penulis: Sintia Demolingo (Aktivis Dakwah)
Kebijakan Bansos kembali menuai sorotan. Pemerintah mengurangi 690 ribu keluarga penerima bantuan sosial (bansos) beras 10 kg per bulan dari 21,35 juta ke 20,66 juta. Jumlah tersebut dikurangi berdasarkan hasil evaluasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pihak-pihak terkait. Pemangkasan dilakukan oleh badan Pangan nasional (Bapanas) selaku Lembaga yang diperintahkan Presiden Joko Widodo memimpin pembagian bansos ini. Nantinya angka penerima ini berlaku untuk sisa masa penyaluruhan hingga akhir 2023. (CNNindoneisia, Senin 30/10/2023)
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiriani, mengatakan, dari hasil evaluasi didapati tiga aspek yang perlu perbaikan dan penguatan yakni pemutakhiran data penerima bansos, kualitas bansos, dan mekanisme penggantian. “Kami terus melakukan penyempurnaan terhadap mekanisme penyaluran bantuan ini. Sehingga dengan adanya perpanjangan bantuan pangan beras, penyaluran akan semakin baik dan benar-benar menyasar masyarakat yang membutuhkan,” kata Rachmi dikutip dalam keterangannya. Rachmi menjelaskan bahwa pengurangan data penerima itu berdasarkan validasi dari Kementerian Sosial yang mencatat adanya perubahan data karena penerima meninggal dunia, pindah lokasi, dan dianggap telah mampu. (Ekonomi.Bisnis.com. Minggu 29/10/2023).
Disamping itu, persoalan bantuan sosial menjadi keluhan yang sering didapat oleh Anggota DPRD Kota Gorontalo, saat menggelar reses. Tidak terkecuali warga Keluahan Siendeng, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo, Minggu (12/11/2023). Anggota DPRD Kota Gorontalo Mucksin Brekat menjelaskan, ada beberapa warga yang mengeluh kepada dirinya karena dicoret dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Akibatnya, mereka ini tidak bisa lagi mendapat bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Padahal, warga itu dinilai masih layak mendapat sentuhan dan perhatian dari pihak pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. (rri.co.id Minggu 12/11/2023).
Pemerintah mencoret sebanyak 1.314 warga Kota Gorontalo dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Artinya, 1.314 warga Kota Gorontalo ini tak berhak menerima bantuan dan pemberdayaan sosial. kepala Bidang Resos dan Banjamsos Dinsos Kota Gorontalo, Endang Hulumudi mengatakan Alasan penghapusannya, yang pertama yaitu karena adanya pemadanan data dengan Dukcapil, Beberapa warga ada yang dihapus karena pindah domisili maupun tercatat meninggal dunia. (TribunGorontalo.com Selasa, 19/09/2023).
Perlu Dipertanyakan Alasannya!
Memang tidak bisa dipungkiri ada penerima bantuan meninggal, tetapi harusnya diberikan kepada keluarga lainnya mengingat banyak keluarga yang membutuhkannya. Jikalau pindah domisili menjadi alasan berkurangnya bansos perlu dipertanyakan pindahnya, dipastikan masih dalam negeri tidak mungkin ke luar negeri. Oleh karenanya, sudah semestinya bantuan bisa tetap diberikan.
Alasan lain dengan ekonomi si penerima mampu sangat kecil kemungkinannya karena begitu banyak rakyat miskin yang hidup serba tidak berkecukupan. Bahkan mampunya karena pendapatan mereka di atas Rp500 ribu per bulan tentu tidaak cukup memenuhi kebutuhan sebulan. Terlebih lagi keluarga yang punya anak dibiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Jika kita telisik lebih mendalam, hal ini berkaitan dengan ekonomi dunia yang kian tidak baik-baik saja. Sulitnya masyarakat mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup bahkan ada yang di PHK. Alhasil, banyak masyarakat yang berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak parahnya menaruh harapan besar pada bantuan sosial. Di sisi lain, harga barang-barang pokok terbilang naik juga membuat kondisi ekonomi makin sulit. Ironisnya, ditengah kondisi seperti ini pemerintah mengklaim jumlah penerima bantuan menurun.
Salahnya Tata Kelola
Pernyataan “bansos akan dilanjutkan pada 2024, asalkan APBN cukup”. hal ini diungkapkan oleh menkeu Srimulyani, beliau mengatakan Jokowi menjanjikan bansos beras10 kg per bulan diperpanjang pada Januari 2024-Maret 2024. Asalkan, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih mencukupi. (CNNIndonesia, Senin 30/10/2023).
Pernyataan semakin menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola dan mengurus APBN. Negara mengelola APBN dari pajak dan hutang, jika ada pendapatan lain jumlahnya tidak banyak. Di satu sisi kekayaan SDA yang melimpah dikuasai asing, aseng dan asong. Berbagai UU dibuat mengarah pada penguasaan SDA dimiliki swasta sehingga para pemilik modal yang punya untung besar. Hal ini mengaharuskan rakyat harus terlibat membayar pajak dan membayar bunga utang tiap tahunnya. Belum lagi pengeluaran APBN dianggarkan pada hal-hal belum terlalu urgent, seperti membangun IKN, membangun kereta cepat, menjjadi tuan rumah lomba olahraga internasional, dll. Alhasil, sangat tidak mungkin dengan pengelolaan seperti ini bisa menjamin kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Akibat Kapitalisme
Buruknya pengelolaan bansos bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan lebih jauh lagi, ini merupakan kesalahan sistem. Sistem Kapitalisme yang dipakai dalam mengelola hajat (kebutuhan) masyarakat hari ini, orientasi dari penerapan sistem kapitalisme semata untuk keuntungan saja.
Disamping itu, sistem ini meniscayakan kebebasan kepemilikan individu. Akibatnya SDA diprivatisasi oleh para pemilik modal sehingga negara tidak punya andil mengelola SDA untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Walhasil SDA tidak dapat dirasakan masyarakat sehingga tidak terpenuhi segala kebutuhan sandang, pangan dan papan. Parahnya sistem kapitalisme dengan Asas sekularisme juga enggan menggunakan aturan agama dalam segala urusan. Aturan berjalan sesuai kehendak manusia lemah, terbatas serba kurang, ketika manusia mengatur kehidupan pasti niscaya akan menyengsarakan. Lantas, adakah aturan mensejahterakan rakyat?
Sistem Islam Mensejahterakan Rakyat
Kondisi yang terjadi hari ini tidak akan ada dalam sistem Islam, sebab Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam mengatur seluruh kehidupan, individu, keluarga, masyarakat bahkan negara. Segala pandangan Islam menjadi rujukan sekaligus aturan oleh para pemimpin dalam menjalankan amanahnya.
Dalam Islam, seorang pemimpin adalah ra’in (penjaga) sekaligus pengayom termasuk dalam hal memenuhi kebutuhan rakyat. Pemimpin dalam Islam akan memastikan setiap kebutuhan warga negara dapat terpenuhi sebagimana yang dicontohkan oleh sahabat Rasulullah SAW. Umar bin Khattab yang selalu berkeliling memastikan rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Saat beliau menenmukan ada rakyat yang kelaparan, beliau menggendong sendiri bahan makanan dan memberikannya kepada orang tersebut. Pemimpin dalam Islam tidak akan menganggap rakyat sebagai beban, bahkan sebaliknya akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan rakyat. Bagi yang wajib menerima zakat, ia akan mendapatkannya dari pos zakat.
Pemimpin akan menerapkan sistem Islam termasuk dalam pengelolaan keuangan. Sumber pemasukan keuangan dari beberapa pos, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, termasuk hasil pengelolaan SDA. Semua itu akan dipakai untuk memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan fasilitas yang memadai bagi rakyat. Dalam Islam, tidak ada pungutan pajak seperti dalam sistem hari ini, kalaupun ada hanya berlaku bagi yang mampu saja dan hanya pada kondisi pos baitul mal mengalami defisit. Tak hanya itu, dalam sistem Islam menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap rakyat yang tidak ada pekerjaan. Dengan begitu, rakyat tidak akan bingung lagi memikirkan kebutuhan hidup karena negara sudah memberikan jaminan terpenuhi seluruhnya.
Sempurnanya sistem Islam karena menjamin kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan Islam rakyat tidak dilema lagi memikirkan masalah bansos karena segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Sudah saatnya kita kembali pada aturan mesejahterakan manusia. Wallahu’alam Bishowwab.(*)