Oleh : Cindi Aprilian
(Aktivis Muslimah)
Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk kegiatan yang melibatkan komunitas waria atau L687 di wilayah Kota Gorontalo. Pernyataan tersebut disampaikannya merespons keresahan sejumlah warga yang menilai aktivitas tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai agama dan adat istiadat daerah.
Namun menariknya, meskipun tegas dalam penolakannya, Rivai tetap mendorong adanya pendekatan persuasif. Ia menyarankan agar instansi pemerintah tetap melibatkan komunitas waria dalam kegiatan yang bernuansa positif, khususnya keagamaan, sebagai bentuk pembinaan moral dan spiritual. (Totabuan.news, 28-04-2025).
Persoalan transgender atau waria ini juga diangkat oleh salah satu Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yang mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan.
Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. (Berinti.id, 30-04-2025).
Maraknya Waria, Buah Liberalisme Kehidupan
Sebenarnya, kemunculan kaum transgender di dunia hiburan bukanlah hal baru. Beberapa kasus serupa telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk kontroversi pemilihan Trans Queen di Gorontalo yang akhirnya dibatalkan karena mendapat kritik dan penolakan dari netizen setempat. Namun, isu ini kembali mencuat karena aksi panggung mereka dinilai semakin vulgar dan tidak pantas, bahkan dilakukan di hadapan penonton yang juga terdiri dari anak-anak.
Meskipun banyak pihak yang menentang termasuk sikap pemerintah dengan melarang mereka untuk tampil dalam berbagai acara, namun tidak sedikit pula yang mendukung kelompok transgender ini dengan alasan hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dan eksistensi kelompok ini masih mendapatkan tempat di tengah sebagian masyarakat.
Munculnya transgender secara terang-terangan ini tidak lepas dari konsep liberalisme, yaitu kebebasan dalam bertingkah laku, termasuk bebas mengekspresikan jenis kelamin, berpakaian, dan bersikap. Ditambah propaganda HAM yang dibawa sistem pemerintahan demokrasi, membuat manusia merasa boleh berbuat apa saja selama tidak merugikan orang lain. Nilai-nilai dan aturan agama dipinggirkan dari kehidupan dan agama hanya diambil sebagai peribadatan ritual semata. landasan segala perbuatan hanya manfaat, tolak ukurnya diserahkan pada nafsu dan kepentingan manusia.
Ketidakjelasan Payung Hukum
Patut kita apresiasi beberapa kepala daerah yang telah bertindak tegas terhadap kaum transgender. Namun jika hanya sekedar kecaman dan melayangkan protes, adu pemikiran masih akan terus berlanjut. Meskipun Indonesia termasuk negara yang menolak legalisasi L687, tetapi tidak juga menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku seks menyimpang. Berulang kali Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan kecaman dan meminta pemerintah untuk perhatian. Akan tetapi tak mengubah apa-apa. Buktinya, kelompok tersebut tetap menuntut pengakuan atas eksistensinya, bahkan beberapa kontes kecantikan transgender masih tetap diselenggarakan.
Gerakan L687 bukanlah gerakan kecil, melainkan bagian dari pergerakan internasional yang kuat. Pendanaannya bahkan berasal dari lembaga-lembaga besar seperti badan PBB, dan didukung oleh negara-negara adidaya. Tak heran jika kelompok ini begitu percaya diri dalam mengekspresikan diri dan mengajak orang lain untuk bergabung.
Padahal, tuntutan atas hak yang mereka perjuangkan justru semakin menjauhkan mereka dari fitrah kemanusiaan. Mereka mengira sedang memperbaiki diri, seolah membenarkan kodrat yang dianggap salah. Padahal, Allah tidak pernah keliru dalam menetapkan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan.
Allah Maha Penyayang, itulah mengapa turun panduan hidup berupa Al Qur’an agar manusia tak tersesat dan menyimpang. Allah telah berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa: 1)
Dari sini telah tergambar jelas bahwa sudah kodratnya manusia memiliki keturunan yang kelak akan melanjutkan estafet perjuangan kehidupan di muka bumi. Sementara dengan L687, justru depopulasi akan terjadi. Sudah kodratnya juga manusia memiliki dorongan biologis kepada lawan jenis. Mengambil sesuatu yang jauh dari fitrahnya hanya akan menimbulkan celaka. Betapa data membuktikan bahwa dengan hubungan sesama jenis, begitu cepat lahirnya penyakit HIV AIDS.
Butuh Solusi Sistemis
Tidak bisa dihindari lagi, ancaman kebebasan gender makin tampak nyata. Persoalannya juga bukan lagi persoalan individu yang bisa diselesaikan dengan membangun ketakwaan. Hal ini karena gencarnya serangan ide ini yang sering meruntuhkan ketakwaan.
Oleh sebab itu, upaya menumbuhkan ketakwaan harus disertai dengan kuatnya kontrol masyarakat yang solid dalam menolak berbagai kemaksiatan, termasuk ide transgender, ditambah adanya aturan yang tegas dari negara. Inilah solusi yang tuntas karena negara adalah benteng paling kokoh dari segala macam ancaman kerusakan.
Bukan hanya dakwah pada pemerintah yang memegang otoritas kebijakan, namun usaha sadar secara mandiri melalui unit terkecil keluarga juga harus dilakukan. Seperti membentuk karakter anak sesuai dengan fitrahnya. Lalu membentuk masyarakat yang senantiasa beramar maruf nahi mungkar, mengajak pada kebaikan mencegah pada kemungkaran. Bukan malah mencemooh, mendukung, bahkan menertawakan perilaku penyimpangan seksual yang dilihat.
Hanya saja, mencari solusi pada negara yang menganut sistem demokrasi sekuler-liberal, ibarat pungguk merindukan bulan. Mengaku berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi peraturan Tuhan malah diabaikan. Walhasil, tidak ada solusi lain untuk menghentikan, kecuali kembali pada aturan negara yang tegas menolaknya, memberi sanksi pada pelakunya, dan menutup semua pintu masuknya, yaitu pada aturan Islam.
Dengan begitu, 3 elemen penting ini perlahan akan membentuk masyarakat yang sehat dan bersih dari ide-ide bathil seperti L687. Wallahu a’lam bishowab.(*)