NEWSNESIA.ID, BOALEMO – Persoalan hukum menimpa Darwis Moridu alias Ka Daru selaku Bupati Boalemo non aktif sementara masih punya peluang bebas. Menyusul, ada upaya perlawanan hukum ditempuh untuk mendapatkan keadilan berupa banding pasca vonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Gorontalo pada Jumat (13/11/2020) lalu.
Tak sampai disitu, tim Kuasa Hukum Darwis Moridu pun kini menggandeng pakar hukum tata negara level nasional guna memuluskan target bisa menghirup udara segar. Ia adalah Muhammad Rullyandi, SH.MH, pakar hukum tata negara terbilang handal dan banyak kali mengantarkan vonis bebas lewat kesaksiannya. Ia pun tercatat peraih rekor muri sebagai ahli hukum tata negara termuda.
Sebagai bukti keseriusan, Pakar Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi menerima undangan khusus Asosisasi Masyarakat Boalemo Bersatu Provinsi Gorontalo pada dialog bersama dengan tema ‘Menoropong Kasus Hukum Darwis Moridu’ bertempat di Hotel Grand Amalia Tilamuta, Senin (30/11/2020).
Diwawancarai awak media usai memaparkan pandangan hukumnya, Muhammad Rullyandi menyampaikan, berdasarkan pengalamannya selama menangani kasus-kasus yang sama, ia menilai bahwa perkara hukum Darwis Moridu tidak cukup layak untuk dimajukan ke pengadilan. Alasannya, karena mengabaikan pendekatan restorative justice.
“Ada fakta-fakta hukum yang seharunya itu menjadi bahan pertimbangan majelis hakim. Di mana, terdapat perdamaian, baik itu dari pihak keluarga korban maupun terdakwa, Bapak Darwis Moridu,” ungkap Muhammad Rullyandi didampingi dua kuasa hukum, Dr. Duke Arie SH.MH.CLA dan Ingrid Bawias SH.MH.
Sayangnya kata Rullyandi, semua pertimbangan itu diabaikan. Sehingga sebagai ahli hukum tata negara, dirinya membuka masalah ini ke publik agar substansinya bisa diperdebatkan kembali.
“Terlebih saat ini proses sedang berjalan di pengadilan tinggi lewat upaya banding, maka harusnya juga mendengar secara obyektif, independen dan melihat seluruh fakta-fakta hukum dan mengambil keputusan dengan vonis bebas kepada Darwis Moridu,” ungkap Rullyandi meyakinkan.
Ditegaskan Rullyandi, masih ada peluang untuk itu. Sebab, semua orang punya asas praduga tak bersalah yang harus dihormati sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Apalagi Darwis Moridu selaku Bupati Boalemo masih punya langkah-langkah pembelaan memperjuangkan keadilan di mata hukum.
“Dari putusan Pengadilan, saya melihat hakim tidak menggunakan pendekatan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Di mana, hakim harus wajib menggali nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat,” jelasnya.
Disatu sisis, Rullyandi menilai terdapat peraturan kejaksaan yang sudah disahkan Jaksa Hukum sekiranya pada Juli 2020 lalu tentang keadilan restorative yakni menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan.
“Harusnya itu jadi pertimbangan karena sudah ada fakta-fakta hukum sejak awal perkara dan sebelum di SP-3. Di mana, pihak keluarga korban sudah melakukan musyawarah dengan adanya satu perdamaian kesepakatan untuk tidak melanjutkan ke proses hukum. Nah, mestinya Jaksa sebagai pengendali perkara mempertimbangkan peraturan kejaksaan, karena itu sifatnya mengikat tentang peraturan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative,” terang Rullyandi.
Demikian halnya oleh majelis hakim, kata Rullyandi harusnya juga mempertimbangkan UU Kekuasaan Kehakiman. Tidak hanya berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim saja. Tetapi juga ada kewenangan menggali nilai-nilai kehidupan yang tumbuh di masyarakat.
“Ini menurut saya keliru karena sudah diabaikan. Sehingga, kami berharap kepada pengadilan tinggi tingkat banding untuk mengoreksi kekeliruan dari putusan pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan vonis 6 bulan penjara,” terang Rullyandi.
Sikapi SK Mendagri terkait Ketentuan Berlaku Surut.
Lebih jauh, ditanya soal terbitnya SK Mendagri Nomor 131.75-3846 Tahun 2020 tentang Pemberhentian Sementara Bupati Boalemo, Darwis Moridu? Menurut kacamata hukum Muhammad Rullyandi menerangkan bahwa ketentuan pasal 57 UU tentang Administrasi Pemerintahan sangat jelas menyatakan bahwa setiap keputusan tidak boleh berlaku surut.
“Dalam membuat landasan keputusan tata usaha negara, harus juga memperhatikan UU tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab, itu berlaku bagi setiap pejabat tata usaha negara,” jelasnya.
Tentunya setiap keputusan tambah Rullyandi bahwa ada dua pendekatan patut diperhatikan. Pertama, berlaku asas kontrarius akuis, di mana pejabat itu bisa merubah putusan sebagaimana pejabat itu berwenang. Kedua, putusan itu bisa berubah dan dapat dibatalkan pengadilan tata usaha negara.
“Tentu harus melalui suatu proses administrative, dan itu berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan dimungkinkan bisa merubah putusan sebelumnya. Tentunya juga landasan putusan tersebut harus dapat diuji berdasarkan asas umum pemerintahan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkas Pakar Hukum Tata Negara Termuda peraih Rekor Muri tersebut.(nrt)