Oleh: Rostia Mile/ Penulis adalah Aktivis Dakwah Kampus
Akhir-akhir ini sering terjadi perbincangan permasalahan sengit terkait masalah perampasan lahan atau lebih dikenal dengan konflik agraria. Entah itu dari permasalahan rempang saat ini sampai pada wilayah-wilayah lain pun terkena efek dari adanya konflik agraria tersebut. Seperti warga di kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bukiwaras dan Kelurahan Way Lunik, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung yang menggelar aksi, dimana mereka meresahkan aktivitas perusahaan batubara di wilayah setempat. Beberapa warga membawa papan bertuliskan penolakan adanya aktivitas stockpile (penimbunan) milik perusahaan PT GML dan PT SME, sebab dinilai membahayakan kesehatan warga setempat yang terdampak. Guntoro warga RT 05, Kelurahan Way Lunik mengatakan, adanya aktivitas stockpile (penimbunan) batubara berakibat pada lingkungan yang tercemar, bahkan masyarakat mulai merasakan sakit tenggorokan. Kondisi terparah saat angin kencang musim panas, debu-debu dari penimbunan batu bara mengotori rumah penduduk, juga mengakibatkan mata perih dan pedih, sesak napas atau menderita ispa. Penimbunan batu bara tersebut sudah berlangsung lebih dari tujuh bulan, namun belum adanya penyelesaian atau solusi yang diberikan oleh pemerintah.
Adapun di Gorontalo terjadinya konflik agraria sengketa tambang emas Pohuwato yang berujung pembakaran kantor bupati karena adanya ketimpangan perebutan sumber daya alam dua dekade terakhir. Persoalan lahan antara warga penambang rakyat dan perusahaan tambang emas, PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), berujung rusuh, pada kamis, 21 September 2023. Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) itu sudah menguasai lahan-lahan yang sejak dulu dikelola warga penambang. Demonstrasi warga penambang di Pohuwato bukan kali ini terjadi. Dua dekade terakhir ini, warga penambang berulang kali unjuk rasa ke Pemerintah Pohuwato, selaku pemegang kekuasaan wilayah di ujung barat Gorontalo itu. Tuntutan mereka bermacam-macam, ada yang menolak perusahaan tambang karena dinilai merusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Ada juga tuntutan, meminta penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR), maupun tuntutan ganti rugi lahan yang menjadi isu sentral dalam aksi unjuk rasa pada, Kamis, 21 September tersebut.
Kondisi inilah, menurut Fanny Tri Jambore seorang manajer kampanye isu tambang dan energi walhi nasional mengatakan yang memicu konflik agraria terjadi lantaran perebutan sumber daya alam antara masyarakat dan korporasi. Bahkan adapun yang mengatakan bahwa yang menjadi dampak lanjutan yang akan terjadi akibat adanya kelalaian negara dalam pemberian izin yang dipermudah. Sebagaimana pemberian izin yang dipermudah itu diakomodir dalam undang-ungang Mineral dan Batubara (Minerba), juga UU Cipta Kerja atau bisa disebut Omnibus Law.
Bahkan ratusan penambang batu hitam atau batu galena yang ada di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango (Bonebol) juga menggelar aksi unjuk rasa di depan Polda Gorontalo, pada rabu (24/05/2023). Aksi tersebut buntut dari kekecewaan para penambang terkait dengan penyegelan sejumlah gudang penyimpanan batu hitam. Penyegelan yang dipimpin langsung oleh Kapolda Gorontalo itu menuai polemik. Menurut para penambang, penyegelan itu malah justru menyusahkan para penambang dan masyarakat sekitar. Aktivitas ekonomi mereka lumpuh karena tidak ada lagi bongkar muat material tambang oleh buruh kijang dan ojek. Koordinator aksi, Dewa Diko meminta kepada pihak Polda Gorontalo lebih mengedepankan aspek sosial yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat. Aspek tersebut seperti yang selalu digaungkan oleh polri yakni Presisi.
Rakyat Kena Imbas
Dari adanya berbagai macam permasalahan tersebut masyarakat merasakan dampak buruk dari stockpile (penimbunan) batu bara maupun persoalan tambang yang sudah berjalan beberapa bulan, baik dampak terhadap lingkungan maupun kesehatan warga. Bahkan perusahaan pun belum menunjukkan tanggungjawabnya atas dampak buruk tersebut. Hal ini membuktikan bahwa buah dari kebijakan pertambangan negara yang tidak memperhatikan lingkungan, dan tidak tegasnya negara dalam memberikan sanksi pada perusahaan yang terlibat. Bahkan kadang negara justru lebih berpihak pada perusahaan dan mengabaikan nasib rakyatnya sendiri. Akibatnya rakyat menjadi korban perampasan ruang hidup, dan terancam kualitas kesehatannya.
Ancaman kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan seolah tampak di depan mata. Muncul ancaman alih fungsi lahan produktif pertanian, berkurangnya kawasan hutan, matinya sumber mata air atau hilangnya wilayah tangkapan air, hingga pencemaran akibat perluasan industri. Bahkan masyarakat pun kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya karena tanah yang biasanya digunakan menghidupi kehidupan mereka sudah tidak ada lagi. Ketika terjadinya pemaksaan oleh pemerintah atas masyarakat untuk memberikan tanah mereka, maka hal ini merupakan tindakan pelanggaran HAM. Padahal kita tahu bersama adanya perlindungan HAM untuk semua manusia, dan pun sering dilaksanakan nya peringatan HAM sedunia, namun ini menunjukkan adanya kelemahan suatu sistem ketika menetapkan sebuah hukum. Hal ini sangatlah miris ketika tidak ada HAM jika hal itu menyangkut kepentingan pemerintah yang dipimpin oligarki. Nasi telah menjadi bubur, tanda tangan telah Presiden Jokowi bubuhkan pada 17 November 2020 silam, yakni berupa Perpres 10/9/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Tidak peduli meski proyek ini terus merugikan negara dan utang kian bertambah karena alokasi pendanaan berasal dari utang luar negeri.
Tentu sangatlah miris ketika menyaksikan rakyat yang rela berjibaku demi memperoleh penghasilan yang tidak seberapa. Meskipun nyawa menjadi taruhannya, karena tuntutan agar asap dapur tetap mengepul adalah alasan utama mereka. Pada akhirnya mereka akan terus bertahan menjadi penambang seakan menjadi alternatif satu-satunya. Di sisi lain, aktivitas pertambangan rakyat yang belum mendapatkan izin operasi (ilegal) memang rawan bagi keselamatan para penambang. Aktivitas pertambangan berjalan seadanya tanpa memperhatikan aspek keselamatan. Bukannya tidak paham akan bahayanya, hanya saja, menjalani pekerjaan ini adalah tuntutan hidup mereka. Akan tetapi, problem pertambangan rakyat ini bukan sekadar masalah legal atau tidaknya, melainkan berkaitan dengan upaya rakyat untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama, ada regulasi bertingkat dan mekanisme administrasi yang rumit untuk mengantongi izin pertambangan.
Inilah yang terjadi pada negara kita saat ini, yang pemerintahannya menerapkan sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai (korban permainan) penguasa dan oligarki. Negara membuat regulasi yang membahayakan rakyat namun menguntungkan perusahaan. Inilah tata kehidupan berdasarkan kapitalisme, negara hanya sebagai regulator. Bahkan kepentingan ekonomi neoliberal tampak kasat mata dalam wajah PSN. Kekuatan modal dengan politik kekuasaan yang mendorong roda pemerintahan bergerak selaras dengan kepentingan ekonomi neoliberal. Ekonomi neoliberal mendukung kepentingan kapitalis dengan membangun perangkat pertahanan, keamanan, serta hukum, bahkan melalui praktik kekerasan jika diperlukan sehingga hak kepemilikan privat dan fungsi pasar dapat beroperasi.
Harusnya Pada Kebijakan yang Shohih
Dalam sistem kapitalisme saat ini, tentu saja rakyat akan terus merugi dan sengsara. Karena PSN akhirnya hanya menjadi momok menakutkan bagi masyarakat karena lahan dan harta mereka dirampas secara paksa. Sedangkan dalam sabda Rasulullah saw., dikatakan “Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas kerelaannya.” (HR Ibnu Hibban). Akibat berpalingnya dari sistem Islam dalam pembangunan infrastruktur, yang terjadi ialah proyek pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elite. Padahal Kekayaan alam negeri sejatinya pun adalah milik rakyat. Negara harusnya bertanggung jawab mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan benar bahwa aktivitas penambangan membutuhkan standar jelas agar keselamatan para pekerja bisa terjamin. Bahkan negara tidak boleh tinggal diam atas keadaan yang terjadi pada masyarakat.
Sebagaimana Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyatnya bukan penindas bagi rakyatnya. Negara harus mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan segala regulasi yang ditetapkan negara akan senantiasa memperhatikan dan mengutamakan kemaslahatan rakyat termasuk keselamatan rakyat dari proyek pertambangan. Bahkan di dalam Islam pun kekayaan alam termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya harus di kembalikan kepada rakyat untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing. Karena di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Rasulullah saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Atas dasar ini, negaralah yang berhak mengelola kepemilikan umum. Negara dapat melibatkan rakyat dengan status sebagai pekerja. Adapun hasil dari pengelolaan SDA tersebut masuk ke baitulmal yang nantinya akan disalurkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat.(*)