Oleh: Boby Rantow Payu
(Dosen Statistik Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo dan Tenaga Ahli Lembaga Pemerintahan Provinsi Gorontalo)
Bagi Provinsi Gorontalo, kemiskinan masih menjadi masalah utama sejak Provinsi ini terbentuk. Dalam 2 dekade usia provinsi ini, belum pernah bisa lepas dari 5 besar provinsi termiskin di Indonesia.
Tentunya ini menjadi menarik untuk dicermati. Pertanyaan yang sering dilontarkan di diskusi-diskusi baik formal maupun non-formal, bagaimana upaya pemerintah? Sudahkah maksimal dalam menuntaskan kemiskinan di Provinsi ini?
Tulisan ini berupaya memberikan sedikit perspektif tentang kemiskinan dan penanggulangannya. Namanya juga tulisan, yaa berusaha dibuat sesederhana mungkin. Karna kalo panjang nanti dikira jurnal.
Bagaimana Kemiskinan Diukur?
Kemiskinan di setiap daerah diukur dan dipublikasi oleh BPS pada setiap tahun yakni di bulan Maret dan September. Pendekatan yang digunakan oleh BPS adalah pendekatan pengeluaran untuk konsumsi. Dalam mengukur kemiskinan ini BPS menggunakan survey yang dinamakan SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional).
Yang namanya survey tentunya menggunakan pendekatan sampel, bukan populasi. SUSENAS ini punya beberapa modul dan yang digunakan untuk menghitung kemiskinan adalah modul konsumsi dan pengeluaran.
Kuesioner yang digunakan oleh BPS ini menanyakan pola konsumsi dan pengeluaran baik makanan dan non-makanan dari responden terpilih. Dari survey ini kemudian BPS menghitung berapa besar garis kemiskinan total.
Garis kemiskinan ini merupakan akumulasi dari pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Setelah garis kemiskinan ini diperoleh, tinggal dihitung aja berapa jumlah masyarakat yang pengeluarannya dibawah garis kemiskinan yang sudah dihitung tadi.
Kelompok masyarakat inilah yang dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sederhananya seperti itu, tentu saja dalam prakteknya tidak sesederhana yang kita pikirkan karena ada banyak proses yang terjadi disitu. Mulai dari cleaning data, pembobotan, penentuan kelompok acuan dan lain-lain.
Nah dari proses ini, jika disimpulkan, tingkat kemiskinan yang diukur dengan cara ini akan senantiasa dinamis, karena:
- Proses penentuan garis kemiskinan. BPS dalam menghitung garis kemiskinan itu dengan dua tahap. Pertama membentuk dulu garis kemiskinan sementara dengan cara menginflate (menyesuaikan dengan tingkat inflasi umum yang terjadi) garis kemiskinan sebelumnya. Misal GK sebelumnya 500.000 per kapita. Adapun inflasi umum misal 5 persen. Maka GK sementara berkisar di 525.000 per kapita. Dengan GK sementara ini kemudian dipilih 20 persen sampel yang memiliki pendapatan diatas GKS. Kelompok ini yang dinamakan kelompok acuan yang akan digunakan untuk penentuan GK makanan dan GK non-makanan.
-
Proses perhitungan pengeluaran konsumsi baik makanan dan non-makanan. BPS mendata apa saja bahan makanan yang sudah dikonsumsi selama beberapa saat sebelum survey. Dari informasi itu BPS kemudian menghitung berapa harga rata-rata komoditas yang dkonsumsi tersebut sehingga diperoleh pengeluaran untuk makanan. Hal yang sama juga berlaku untuk pengeluaran non-makanan.
-
Karena proses perhitungannya menggunakan TINGKAT INFLASI dan TINGKAT HARGA KOMODITAS maka GK akan sangat dinamis. Sangat dipengaruhi oleh kondisi inflasi dan tingkat harga disaat survey dilakukan.
Dan yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa tingkat kemiskinan yang dipublikasi ini adalah bersifat MAKRO. Fungsi utamanya hanya untuk mengestimasi. Hal ini karena prosesnya yang menggunakan sampel. Yang namanya sampel berarti tidak spesifik menyorot hingga ke level individu. Sifat data MAKRO yaa lebih ke estimasi. Bahkan hingga saat ini setahu saya BPS masih sementara mengembangkan metode estimasi hingga ke level yang lebih kecil agar ESTIMASI kemiskinan bisa menggambarkan hingga ke level kecamatan bahkan desa. Ini mesti dipahami karena banyak yang salah kaprah menganggap bahwa kenapa pemerintah tidak langsung mengintervensi penduduk miskin. Kan sudah ada datanya?
Lantas untuk keperluan intervensi bagaimana?
Nah, untuk keperluan intervensi kemiskinan, BPS menginisiasi pembentukan data mikro sejak tahun 2005 dengan SENSUS. Ingat ya SENSUS bukan SURVEY. Artinya semua masyarakat didata. Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005 merupakan sensus pertama untuk pendataan warga miskin di Indonesia. Sejak saat itu, PSE kemudian diupdate melalui beberapa survey PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) yang terakhir dilakukan pada tahun 2011. Hasil PPLS 2011 ini yang kemudian menjadi cikal bakal BDT (Basis Data Terpadu) yang awalnya dibawah koordinasi TNP2K yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden. Dan sejak tahun 2016, koordinasi BDT beralih ke Kementerian Sosial. Pada tahun 2019, BDT ini kemudian berubah menjadi DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) hingga saat ini. Kurang lebih seperti itu sejarahnya.
Pembentukan DTKS ini bertingkat, dari level desa, kabupaten, provinsi hingga penetapan di tingkat kementerian. DTKS ini sendiri memuat 40 persen masyarakat yang berpendapatan terendah. DTKS menjadi patokan dalam penyaluran beragam bantuan sosial yang diprogramkan oleh pemerintah.
Nah, data DTKS ini yang SEHARUSNYA menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam melakukan intervensi kemiskinan di daerah masing-masing. Namun pada kenyataannya, tidak seperti itu. Banyak faktor yang membuat mengapa seperti itu, mulai dari ketidaktahuan dalam pemanfaatan, akses data yang terbatas hingga datanya sendiri yang dianggap tidak update. Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut, mulai tahun 2020 Kemensos menginisaisi SLRT (Sistem Layanan Rujukan Terpadu) agar pemanfaatan DTKS ini menjadi lebih masif dalam upaya penanganan kemiskinan. Karena SLRT ini baru diinisasi, sehingga hasil kerjanya belum terlihat saat ini. Semoga sesuai dengan harapan dan tujuan.
Untuk masalah kualitas data, ini juga merupakan hal yang masih perlu diperbaiki. Pengusulan yang berjenjang membuka banyak “celah” yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk “menitipkan” orang-orangnya kedalam DTKS ini. Dan jika ini berlangsung maka tentunya akan berimbas pada meningkatnya salah sasaran dalam penanggulangan kemiskinan.
Dan hal ini terkonfirmasi melalui crosscheck yang dilakukan pada data SUSENAS. Sebagai contoh, data tabulasi silang yang tahun 2020 kemarin saya minta ke bagian Litbang Bappeda untuk keperluan kajian yang kami lakukan dan kemudian di follow up oleh BPS dengan menganalisa SUSENAS tahun 2019. Hasilnya sangat mengejutkan meskipun sudah duduga sebelumnya (seperti yang terlihat di gambar).
Cara membaca tabel seperti ini : Ada 33,75% rumah tangga Desil 1 (10 persen rumah tangga berpendapatan terendah) pernah menerima BANSOS RASTRA dalam 4 bulan terakhir. Pada sel lain misalnya ada 20.74% rumah tangga pada desil 5 pernah menerima Bantuan/Bansos dari pemerintah daerah. Demikian seterusnya.
Dari data cross-check ini terlihat betapa besar salah sasaran yang terjadi dilapangan. Bantuan sosial yang seharusnya diarahkan ke 4 desil terbawah ternyata juga dinikmati oleh RUMAH TANGGA PADA DESIL 5 KEATAS. Yang seharusnya, kelompok DESIL 5 KEATAS ini bukanlah sasaran BANSOS. Bisa dibaca sendiri bagaimana salah sasaran yang terjadi pada setiap jenis bantuan.
Mengapa ini bisa terjadi? Ada dua kemungkinan :
- Kualitas DATA DTKS tidak bagus seperti yang saya duga sebelumnya. Banyak “titipan”.
-
Kesalahan nomer 1 akhirnya berakibat pada kekeliruang PEMDA dalam penetapan KPM (Keluarga Penerima Manfaat).
Apakah teman-teman di pemda menyadari ini? Saya yakin mereka sangat menyadari, namun karena regulasi yang mengatur bahwa penyaluran bansos harus berdasar DTKS, maka teman-teman didaerah dengan sadar melakukan kekeliruan (saya susah nyari padanan kalimat ini..hehehe..).
Solusinya? Yaa solusi pertama dan paling urgen adalah pembenahan data dari tingkat bawah. Dan ini tidak gampang sudara2. Karena sekali lagi, banyak faktor yang bermain disitu. Dari kepentingan politik, moral hazard hingga benturan kewenangan di berbagai level.(*)